Abnormalitas Botani (5)

11 3 0
                                    

Bentala mematikan TV, semua berita berisi tentang pohon bercahaya, semua berita berisi tentang Cirebon— tempat-tempat yang pernah ia datangi bersama Gumitir pun sempat diliput di TV. Menyebalkan, sekaligus menyakitkan mengetahui fakta bahwa sekarang Gumitir tidak bisa ia temui, tidak bisa ia hubungi. Ke mana kiranya Gumitir pergi? Dia sedikit merindukan tawa lepas Gumitir kala dirinya bercerita hal konyol, dia merindukan cerita Gumitir yang mulai bangkit di hidupnya dan mulai membangun hubungan baru dengan teman-temannya di sekolah. Dia, merindukan Gumitir, cerita yang pernah ia dengar, tempat yang pernah mereka datangi bersama, makanan yang mereka makan bersama, buku serta film yang pernah mereka baca dan tonton juga suasana yang mereka sama-sama alami— Bentala merindukan segala aspek pada Gumitir.

"Tala, angkat jemuran!" Teriak Indah dari dapur. Begitu Bentala bangkit dari sofa, suara kaki kecil berlari menghampirinya dan berteriak "IKUT" dan Bentala tidak banyak protes, segera menggenggam tangan Rian dan berjalan keluar untuk mengangkat jemuran.

Setelah Bentala melempit semua pakaian kering, Bentala hendak kembali ke kamarnya namun seseorang memanggil namanya dari pekarangan rumah "Tala, sini sebentar Nang!" teriak Ayah Indah memanggil namanya "pegang tangga ini, Mama mau mengunduh pisang" Mama adalah sebutan ayah yang sering digunakan oleh masyarakat Indramayu dan Cirebon. Bentala hanya menurut, segera ia keluar dari rumah dan mencari sumber suara di pekarangan samping rumah dengan Rian yang terus mengekor di belakangnya entah apa maksudnya. Bentala memegangi tangga yang dipijak Pak Amin yang tengah mengaitkan tali tambang dari ujung tundun pisang dan melilitkan sedemikian rupa agar tundun pisang tidak jatuh saat ditebas pangkalnya. "Tangkap!" perintah Pak Amin sembari melempar tali tambang pada Bentala, Bentala memegangi sekuat tenaga agar tundun pisang tidak jatuh bebas. Dengan kaitkan pada penyanggah hingga mencegah tundun pisang terjun bebas kala pangkalnya ditebang. Dan begitu pangkal tundun pisang ditebang, Bentala menahan pisang sekuat tenaga agar tidak jatuh dan mengulurkan tambang dengan perlahan agar jatuh dengan mulus, Rian membantu dengan menahan tali di belakang Bentala— entah itu berpengaruh atau tidak.

Pak Amin turun dari tangga dan memapas batang pohon pisang hingga habis dan membaginya agar mudah untuk disingkirkan sementara itu Bentala menggotong tundun pisang ke depan teras rumah, masih dengan Rian yang mengekor di belakangnya. Setelahnya Pak Amin menghampiri Bentala dengan peluh di tubuh kurus dan mulai memperlihatkan usia tuanya yang sudah menginjak kepala lima itu. Pak Amin mengusap peluh lalu memotong tundun pisang agar lebih mudah dibawa ke dalam rumah. Rian bersorak kala ia melihat pisang yang menguning. Bentala memetik pisang kuning yang ditodong Rian dengan telunjuknya lalu Bentala mengupas pisang dan menyodorkan ke mulut Rian. Rian kegirangan dengan rasa manis pisang, lari dan berteriak enak ke dalam rumah.

"Mau dibikin apa nih Ma?" setelahnya pisang dikumpulkan di wadah yang besar yang terbuat dari anyaman bambu lalu ditutup rapat dengan karung hingga rapat kedap udara.

"Makan langsung juga enak kan Nang?" Pak Amin meletakkan golok dan peralatan tebas miliknya di gudang dan begitu melihat Bentala yang hendak duduk di sofa, dia segera menghampiri dan memanggil Bentala "ke empang yuk Nang, udah lama" Bentala kembali hanya menurut dan mengikuti Pak Amin. Sementara itu Rian berteriak ikut dan menarik tangan Bentala untuk memintanya gendong di pundak Bentala. Bentala lalu berjongkok dan membiarkan Rian naik ke punggungnya.

Tugas Pak Amin sore ini dari Indah ialah jangan membiarkan Bentala sendirian. Bentala jika sendirian ataupun tidak sibuk pikiran dan fisiknya, akan memasuki lamunan dengan tatapan kosong dan melupakan sekitarnya. Membuat Bentala sibuk adalah rencana orang-orang rumah ini kecuali Rian dan Bentala tentu saja.

Hari-hari Bentala di Indramayu hanya diisi dengan membantu pekerjaan rumah juga sesekali mencari angin segar itu pun diajak oleh Pak Amin atau diseret Ancala. Bentala sendiri tidak berkeinginan untuk bepergian. Seperti sekarang, Bentala ikut Pak Amin ke empang lele milik Pak Amin dengan Rian di punggung Bentala minta untuk digendong. Bentala dan Pak Amin berjalan menyeberang jalan lalu berjalan di tanggul sawah terus lurus sampai akhirnya menemukan pepohonan rindang dan di situlah emang Pak Amin. Ada pos jaga di sana, terbuat dari papan-papan kayu yang cukup luas. Empang Pak Amin memiliki tujuh kolam empang dengan ikan lele yang sudah siap panen dalam waktu dekat.

Bentala menurunkan Rian dari punggungnya dan Rian langsung hendak berlari melihat ikan lele namun tangan Bentala lebih dulu meraih tangan Rian mencegah Rian untuk seenaknya berlarian. Seorang pegawai Pak Amin menyapa dan menaburkan pelet ke kolam empang dan sekejap menimbulkan riuh di kolam, ikan lele dengan rakus memakan pelet. Rian menyeret Bentala memaksa untuk melihat ikan lele makan. Bentala mau tak mau menuruti. Bentala menahan tubuh Rian di pinggir kolam empang lele agar saat Rian terlalu bersemangat, dia tidak ikut menjadi makanan ikan lele.

"Sudah siap panen Ma?" Bentala bertanya mengusir sepi.

"Belum, dalam waktu dekat ini" ucap Pak Amin.

Sore itu Bentala meneruskan melihat-lihat empang ikan lele Pak Amin. Bentala juga diajak untuk melihat sawah Pak Amin yang masih hijau di dekat empang. Rian berteriak jika dia melihat ular masuk ke dalam sarangnya. Udara persawahan di pagi hari masuk ke tubuh Bentala dan membuat Bentala merasa lebih segar dan tak suntuk di rumah. Walaupun Bentala merasa suntuk terus di rumah, namun entah bagaimana dia tidak berkeinginan untuk pergi ke manapun. Dia, seolah terjebak dalam pikirannya sendiri, pikiran yang selalu berkaitan dengan Gumitir. Burung-burung di sore itu hendak terbang pulang dengan matahari yang semakin turun ke barat, Bentala memandang Gunung Ciremai di arah selatan yang dari kejauhan terlihat berwarna biru gelap dengan awan-awan tipis mengelilinginya. Suasana sore memang membuat dirinya jadi lebih baik, tapi jika hanya sekadar suasana sore di desa— bisakah dia melupakan persoalan Gumitir dan kembali beraktivitas seperti biasa? Entahlah.

Bersama Pak Amin dan Rian yang lagi-lagi meminta untuk naik ke punggungnya pulang ke rumah yang sudah menunggu di teras rumah Indah bersama ibunya yang tengah menikmati sore yang tenang. Malam harinya mereka makan bersama, Bentala, Ancala, Pak Amin, Ibu Amin, Indah, dan Rian yang tengah bercerita ular yang ia temui di sawah tadi sore. Indah yang menatap panik, Ibu Amin yang menatap garang pada Pak Amin, sementara Ancala dan Bentala tersenyum gemas pada Rian. Malam terus jatuh, Bentala duduk sendirian di teras rumah menatap jalanan dan kendaraan yang lalu lalang dari kejauhan. Jarak rumah ini sekitar sepuluh meter dari jalanan. Malam itu seperti biasanya, tidak terlalu ramai. Jalanan pedesaan memang tidak seramai jalanan kota.

Pikiran Bentala mulai mengambang, kembali pada Gumitir pikirannya tertambat, ke mana kiranya Gumitir? Apa Gumitir sebegitu benci pada dirinya? Apa Gumitir benar tidak ingin menemui dirinya lagi? Bentala menatap deretan pesan yang ia kirimkan pada Gumitir namun jangankan dibalas, dibaca pun tidak. Andai saja dirinya mengatakan dengan tegas dan tidak terlalu sibuk menyiapkan hatinya yang entah kapan siap itu, andai saja dirinya bisa lebih berani untuk lebih mencintai Gumitir. Andai saja— dirinya bahkan muak dengan berandai.

Ancala membuka pintu, meletakkan secangkir kopi di meja teras dan duduk di kursi samping meja dekat Bentala duduk. Dia memandang adiknya yang entah pikirannya sedang ke mana, lalu menghembuskan napas berat karena sudah tidak ingin melihat adiknya seperti ini. Malam itu Ancala hendak memancing Bentala untuk bercerita, dan berhasil. Ancala memperhatikan tiap potong dari cerita Bentala, dan mencoba memahami permasalahannya. Ancala juga tidak mengetahui apa yang harus adiknya lakukan, dari cerita yang ia dengar Gumitir seakan-akan hilang tanpa kabar. Bentala sudah merasa lelah untuk hari ini, dia bangkit begitu kopi habis dan pergi tidur. Kopi tidak membuatnya terjaga kali ini, mungkin karena pikirannya sudah terlalu lelah dia pergi tidur dengan cepat.

Ancala memperhatikan berita di handphone miliknya dan membaca salah satu berita yang melaporkan bahwa pohon bercahaya utama yang ada di gedung negara mulai merusak jalanan dengan akar-akarnya yang menjalar. Tidak hanya itu cahaya yang dihasilkan oleh pohon tersebut juga semakin berwarna merah. Sudah tidak ada lagi cahaya kuning keemasan. Di samping itu, keempat pohon bercahaya yang tumbuh di tempat lain juga semakin tinggi dan besar, daunnya semakin lebat dan semakin terang kala malam. Ancala lalu menutup berita, hendak pergi tidur.


Aku juga nulis cerpen di Ig (IG: @andipati17) follow ya :) 

Cirebon dan Pohon Balas Dendam (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang