Happy Reading
Dinginnya malam membutat tubuh SaBit digerogoti oleh semilir angin di atas balkon. Gadis yang berpakian tanpa lengan itiu tidak peduli jika nantinya ia akan mati kedinginan malam ini. Ia membiarkan dirinya diterpa angin. Membiarkan seluruh tubuhnya menggigil karena angin malam.
Tiga hari sudah berlalu sejak hari dimana hubungannya dengan Langit sudah tak lagi sama. Hari dimana dengan terang-terangannya Langit berkata bahwa dia tidak memiliki perasaan apapun terhadap Sabit. Hari dimana ia... harus rela melepaskan dunianya penuh warna untuk kembali menjadi abu-abu.
Sabit menghela napas berat. Ia menghidupkan layar ponsel-yang sejak tadi ia genggam-untuk melihat pukul berapa saat ini. Angka di dalam ponsel itu telah menunjukkan pukul 01.00 malam. Itu artinya sudah sekitar 3 jam Sabit duduk di kursi balkon sendirian sembari menatap hampa suasana malam yang gelap di depannya.
Satu kesalahan yang membuat Sabit sadar adalah dia tidak pernah menanyakan apakah Langit sudah memiliki pacar. Dia malah justru membiarkan perasaannya terjun bebas tanpa pernah memikirkan akan hal itu. Entah Sabit yang terlalu ceroboh atau Langit yang begitu handal menyembunyikan fakta itu darinya.
Mengingat itu kembali membuat Sabit tersenyum sumbang. Ingatannya kembali pada kenangan demi kenangan yang pernah dia lukis bersama Langit di kota Bali. Sungguh, siapapun yang jalan dengan pria itu akan berpikir bahwa pria itu adalah pria yang pantas untuknya karena kebaikan hati pria itu. kelembutannya dalam bersikap dan bertutur kata.
Tiba-tiba, matanya menjurus ke arah 3 bunga matahari yang tampak bergerak-gerak karena terpa-an angin. Sabit hanya mampu menghembuskan napasnya tatkala ia mengingat bahwa bunga itu selalu berhasil menuntunnya kembali pada ingatannya terhadap Langit.
"Sial!" umpat gadis itu di dalam hati.
Sabit benar-benar gusar malam ini. Ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan. Merangkai Jurnal kit saja rasanya ia enggan. Gadis itu hanya ingin duduk diam tanpa melakukan apapun. Sebelum esoknya ia harus menyelesaikan segala sesuatunya disini dan beranjak pergi meninggalkan kenangan kota Bali disini.
***
"Kamu gak pulang ke apart? Sabit sendirian dong di sana?" Sean--yang tengah menyugar rambutnya yang masih sedikit basah karena ia keramas--berjalan menghampiri Gina yang sedang memotong buah-buahan untuk mereka Santap malam ini.
Sean tersenyum. Ia selalu suka jika Gina sudah memotong buah-buahan seperti ini. Sean merasa hidupnya lebih sehat dan teratur jika ada Gina di dalamnya. Padahal, pertemuan mereka cukup singkat. Dan entah bagaimana pula Gina terlihat begitu memikat baginya.
Sean mencomot satu buah apel yang sudah terpotong-potong untuk dia masukkan ke dalam mulutnya.
"Sabitnya gak mau ditemenin," Sahut Gina yang masih fokus menatap buah-buahan di tangannya.
Sean mengerutkan keningnya, "Gimana kalau terjadi sesuatu sama dia?" khawatirnya ketika mengingat cerita-cerita Gina tentang hancurnya Sabit kali ini.
"Nggak lah, aku percaya Sabit." Ungkapnya.
Setelah perbincangan panjang malam itu. Gina percaya bahwa Sabit masih ingin melanjutkan hidupnya. Berbeda dari sabit yang pertama kali ia temukan. Disana, Gina tidak menemukan adanya kehidupan dari balik mata gadis itu. hanya seperti... menjalani hidup tanpa adanya motivasi. Namun malam itu, Gina yakin Sabit telah memutuskan untuk tetap hidup. Gina yakin bahwa Sabit telah menemukan sesuatu yang ingin dirinya lakukan. Walaupun Gina harus berberat hati melepaskan Sabit-karena mimpi gadis itu tidak berada di sini.
"Sabit masih sering manggung di café?" sepertinya pembahasan mengenai Sabit lebih menarik perhatian kedua pasangan ini. Ketimbang cerita hal-hal apa saja yang terjadi di antara keduanya hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Sabit (KUN) End
Romancesebuah Rasa yang tak seharusnya ter-asah. Cover by : pinterest