11. Lukisan

24 4 1
                                    

Di sepanjang jalan pulang Abel terus saja memikirkan perkataan Chiko tadi pagi. Tentang Pak Raditya yang Chiko bilang bukanlah orang baik. Hantu memang begitu ya? Suka kepo akan hidup manusia. Abel jadi penasaran kenapa Chiko bisa tahu setiap kejadian yang membentuk sebuah tanya. Tapi anehnya dia tidak tahu siapa yang membunuhnya di masa lalu.

"Tidak semua hantu tahu itu, Abel."

"Lah, kok lo bisa baca pikiran gue?"

"Hah, maksud lo apa sih, Bel?" Abel lupa kalau Kiera sedang berada di motornya, mereka berdua berboncengan sekarang. Jalanan yang lengang membuat Kiera dapat mendengar jelas gumaman Abel kendati ia memakai helm.

"Ah nggak, gue lagi halu." Jawab Abel asal, cewek itu lantas kembali fokus pada jalanan.

Hari ini sekolah pulang lebih cepat dari biasanya, wajar saja. Ujian menggunakan komputer, tinggal menunggu hasil yang akan mereka terima. Hari ini pula Abel tidak merasa kecewa terhadap apa yang ia capai, setidaknya ini sudah cukup membuat dirinya merasa bangga.

"Perasaan dari tadi gue perhatiin lo ngomong sendiri deh, serius lo nggak lagi kehabisan obat?"

Abel mencebikkan bibir. "Abis, obat gue kan cuma Oppa Byeon Wooseok Jawabnya sambil tersenyum-senyum.

"Kalo gue mah Jepang."

"Oh iya, siapa nama cowok Jepang lo?"

"Haru,"

"Hah? Dia lagi sedih apa gimana, kok namanya Haru?"

Kiera memukul jidatnya sendiri. "Haruto maksud gue,"

"Oh, yang kayak Keno?"

"Anjir, kok kayak Keno sih?!" Kiera tak terima, masa bias kesayangnnya disamakan dengan kebo hutan satu itu.

"Lo pernah bilang Haru suka basket, Keno kan juga suka sama basket bahkan banyak ikut lomba terus menang."

"Ya sih, cuma plis ya Bel, Haru gue beda sama Kebo hutan kayak dia!"

"Halah sok-sokan, ntar suka lo ..."

"Nggak ya, nggak akan."

Abel memasang muka tak percaya, tentu Kiera tak bisa melihatnya karena Abel yang menyetir motor. Ketika akan melewati sebuah rumah sakit Abel melihat punggung seseorang yang tak asing di matanya tengah berjalan menuju halaman rumah sakit usai turun dari sebuah mobil.

"Kayak Aksa," gumamnya, kali ini Kiera tampak tak mendengar. Ia asik pada aktifitas sendiri.

Perasaan Abel jadi tidak karuan, siapa yang sakit? Kenapa Aksa pergi ke sana?

"Eh, eh, kok motornya goyang-goyang sih?" keluh Kiera saat merasakan motor yang ditumpanginya oleng ke sisi jalan. Tak lama berhenti.

"Ra, itu rumah sakit kan ya?" Abel menghentikan motor, mendadak. Hampir membuat Kiera mengumpat karena tubuhnya terhuyung ke depan.

"Aduh ... gilak lo, ngerem nggak bilang-bilang." Mata Kiera mengikuti kepala Abel. "Itu bukan rumah sakit itu psikiater. Dokter khusus nyembuhin penyakit mental gitu."

"Maksud lo gila?!"

Kiera menghela napas, bagaimana ia akan menjawab pertanyaan aneh gadis lemot ini?

"Nggak semua penyakit mental gila, Mbak e. Emang siapa sih yang sakit mental? Lo ya?"

"Sebenernya gue udah gila dari dulu jadi nggak punya penyakit mental."

Kiera hanya ber-oh saja menanggapinya.

♡♡♡♡

Sampai di rumah Abel tidak melakukan apa-apa, semua pekerjaan sudah selesai tadi pagi karena ia bangun lebih awal untuk kembali belajar, itu niat awal. Eh tapi melihat tumpukan piring kotor di wastafel membuat hatinya tak tenang, ia pun mencuci dan melupakan niat awalnya untuk belajar. Meskipun demikian, Abel merasa puas pada hasil yang ia dapat.

Ineffable |End|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang