8. Ungkapan yang Terdalam

7 2 0
                                    

Fazaira mematung seorang diri di pojok sebuah kamar, matanya terkunci pada sesosok lelaki yang terbaring lemah di atas ranjang. Tangan Fazaira kian erat menggenggam tali tas selempang miliknya, sementara dalam hati terus saja memanjatkan doa agar lelaki itu diberikan kesembuhan oleh Tuhan.

Brakk

Ruang kamar yang diisi sejumlah enam orang itu menggema, mereka semua tersentak akibat sebuah barang tumpul yang dilempar seorang Rega menuju permukaan lantai. Semua orang terkecuali Darsa menoleh ke arahnya.

"Lo ngomong apa sih sama dia?" tanya Rega dengan nada tinggi. Herawan berupaya menahan Rega agar tidak menghampiri Fazaira, takut bablas tidak dapat menahan diri.

"Aku nggak ngomong yang macem-macem, Kak."

"Terus kenapa Darsa bisa kayak gini!" Bahkan Pradika yang tengah menenangkan Darsa ikut mengomeli gadis itu.

"Dika, udah, jangan ikut ngamuk," bisik Kemilo.

Fazaira hanya bisa mengembuskan napas panjang sembari menggeleng lemah. Ia tidak berani menatap Pradika, lelaki yang telah salah paham karena memergokinya berduaan dengan Darsa di taman kampus beberapa jam lalu.

Rega yang tampak sudah tidak tahan berani untuk mengempaskan tangan Herawan, kemudian ia semakin mendekati Fazaira. "Kehadiran lo di hidup Darsa itu nyusahin, tau gak? Gara-gara lo, penyakit mental Darsa sering kambuh. Banyak banget halusinasi Darsa yang ada hubungannya sama lo. Kapan Darsa bisa sembuh kalau lo terus ngasih dia penyakit!"

"Bang Rega."

Rega terdiam membisu setelah lelaki yang sedari tadi melamun akhirnya bersuara, terdengar lemah tak berdaya. Darsa berusaha untuk duduk di tempat tidurnya, dibantu Pradika dan juga Kemilo.

"Bisa tolong biarin gue sama Fazaira bicara berdua?"

Rega mengembuskan napas gusar. Ia menatap tajam kepada Fazaira seolah memberi peringatan keras, jika Darsa kambuh untuk kedua kalinya maka habislah nyawa Fazaira. Puas memberi teguran, Rega pun akhirnya keluar dari kamar dan disusul oleh ketiga teman lainnya.

Suasana kamar seakan berubah menjadi mencekam, masing-masing terlalut ke dalam pikiran. Entah siapa yang akan memulai percakapan, yang jelas keringat dingin terasa mulai keluar dari pelipis Fazaira.

"Bisa kau ulang pertanyaan di kampus tadi?" tanya Darsa dengan hati-hati.

Fazaira mengangkat kepalanya, menatap Darsa yang rupanya sudah memandang Fazaira sejak lebih awal. Dengan tatapan datar, lemas tidak memiliki tenaga.

"Kurasa ... aku mencintaimu, Darsa."

"Untuk apa? Rasa kasihan?"

Seakan bumi menghantam dadanya, Fazaira sedikit tersentak atas perkataan Darsa. Bukan seperti lelaki yang selama ini Fazaira kira bertutur baik, pendiam dan mampu menyaring ucapannya. Darsa yang berhadapan dengan Fazaira dirasa berbeda daripada sebelumnya.

"Aku memang sudah lama menaruh rasa kepadamu, aku jelas ingin menjadi kekasihmu. Tapi perlu kamu ketahui, aku tidak butuh cintamu yang mengatas dasari rasa kasihan." Pandangan mata Darsa tampak terkunci menuju wajah Fazaira, sementara gadis itu menunduk lesu.

Perlahan Fazaira mendudukkan tubuh pada kursi yang berada tak jauh di tempatnya berdiri. Kaki Fazaira terasa tidak kuat menampung rasa sesak akibat pernyataan yang sebentar lagi akan ia terima.

"Aku terlalu lama ya membalas perasaanmu?" tanya Fazaira dengan hati-hati.

Darsa mengembuskan napas gusar, setelah itu dirinya beranjak sebisa mungkin dari tempat tidur untuk menghampiri Fazaira. "Bukan tentang lama atau tidaknya perasaan ini terbalas, Faz."

Melodi yang Hilang [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang