Première: A Disappointment

38 4 0
                                    

Hello there, loves! Thank you for being here. 

‼️DISCLAIMER‼️

fictional story

Mengandung beberapa hal yang mungkin kurang nyaman bagi beberapa orang (addiction, blood, traumatizing, etc.)


Enjoy!




"ETHAN LEE! ANAK TIDAK BERGUNA!"

Guillaume, sang ayah menendang dada anak laki-lakinya dengan sangat kuat. Sampai tubuh mungil itu jatuh ke lantai.

"Kalau jadi juara kelas saja kamu tidak bisa, apalagi jadi dokter. Aku tahu kau tidak begitu pintar, Ethan. Tapi tidak sebodoh ini juga. Mengecewakan."

Tidak ada suara keras maupun bentakkan yang keluar dari mulut Yves, sang Ibu. Namun jelas sekali bahwa ia kecewa dan marah terhadap hasil akhir nilai Theverix.

"Inilah jadinya kalau kau selalu saja bermain dengan teman-temanmu. Nilaimu tak mengalami peningkatan, meski satu poin pun. Anak tidak tahu diri. Kami sudah menyediakan segala keperluan supaya kau bisa menjadi juara kelas. Ini balasanmu? Cih."

Suaranya lebih tinggi dibanding sang Ibu. Guillaume menahan diri mati-matian agar tidak membentaknya, namun tetap saja. Perkataannya menyakiti perasaan Ethan.

"Maaf."

Yves menamparnya kuat sekali, meninggalkan bekas kemerahan pada pipi kiri Ethan.

"Permintaan maafmu tidak diterima. Kalau tahun ini kamu tidak juara kelas, kamu tak usah tinggal denganku lagi. Menjijikan!"

Manik indah Ethan terpaku pada lantai putih di bawah kakinya. Perlahan air matanya turun, tersakiti dengan perkataan sang Ibu yang seolah tak pernah melahirkannya.

"Kau satu-satunya anak lelaki yang kupunya. Laki-laki tidak menangis. Lemah!" Suara keras itu muncul lagi. Kali ini, pipi kanannya yang ditampar sang Ayah.

"Ayah, Ibu, apakah kalian- oh lihatlah," Sang kakak, Eloise menyeringai. "Disini rupanya sepatuku. Digunakan tanpa seizinku."

"Dasar anak ini! Cepat, lepaskan sepatu kakakmu!" Teriak Yves pada anak laki-lakinya.

Ethan mengangkat kepalanya, "Ini bukan sepatumu. Jangan sembarangan mengaku-ngaku."

Eloise mendecih, "Lantas, dimana kau mendapatkan sepatu sebagus itu?"

Ethan terdiam sejenak. "Hadiah dari temanku."

"Mencurigakan. Mana ada orang yang mau membelikan barang mahal seperti itu. Apalagi untukmu. Jangan-jangan, kau menjual dirimu kepada om-om hidung belang untuk sepasang sepatu itu. Astaga, murahan."

"Jaga ucapanmu. Bukankah kau yang menjual dirimu pada om-om hidung belang?" Ethan menaikkan nada bicaranya. Ia sebenarnya membeli sendiri sepatu itu. Hanya saja, ia tak mau sepatunya berakhir di tangan seorang Eloise Lee.

Yves menampar lagi pipi kanannya. "Tinggal berikan sepatu sampahmu itu apa susahnya, sih? Lagian hanya sepatu."

Tatapan meremehkan dari sang Kakak membuat tekanan darah Ethan melonjak naik.

"Sudahlah. Ayo kita beli sepatu itu. Atau yang lebih mahal sekalian. Aku tak sudi melihat anak kesayanganku memakai sepatu yang dibeli dari uang hasil jual diri."

Yves menunjuk wajah Ethan dengan telunjuknya, menatapnya tajam. "Jangan pernah sekalipun kau berbicara seperti itu lagi pada kakakmu. Dasar tak tahu diri!"

Yves melanjutkan langkahnya membuntuti suaminya dan Eloise, meninggalkan Ethan di ruangan itu seorang diri.

Lelaki itu tidak dapat menahan air matanya. Tak ada isakan yang keluar dari mulutnya. Ia menggenggam erat tangannya sendiri.


Beginilah Ethan melepaskan segala keluh kesahnya. Pantai, rokok, dan Shaenette.

"Shhh, dingin." Ethan meringis ketika Shaenette menempelkan es pada pipi kanannya.

"Tentu saja! Namanya juga es. Bagaimana, sih!" Shaenette berdecak sebal. Ethan hanya terkikik melihat reaksi Shaenette.

"Mereka memang begitu atau hanya padamu?" Tanya Shaenette.

"Hanya padaku. Bahkan jika kakak atau adikku tidak naik kelas, mereka tak akan mempermasalahkannya. Dasar orang tua zaman ini."

"Kasihan sekali dirimu."

Shaenette lanjut menempelkan es pada pipi kiri Ethan, mendiamkannya beberapa saat sebelum menyodorkan benda kecil bernikotin itu padanya.

Ethan tersenyum sebelum menerimanya. "Kamu memang yang terbaik. Terimakasih."

Shaenette memutar matanya sebelum ikut menyalakan batang rokok miliknya. Mereka terdiam selama beberapa menit. Menyesap rokok masing-masing sambil memandangi matahari yang sedang terbenam tepat di depan mata.

"Tolong ajari aku."

Ethan menoleh, terkejut dengan permintaan kawannya itu. "Harusnya aku yang minta diajari," lalu ia terkekeh pelan.

"Aku serius." Perempuan itu beralih menatap lelaki di sampingnya itu. "Tolong ajari aku supaya tetap sabar menghadapi hidup yang begitu keras." Shaenette menghadapkan seluruh badannya pada Ethan.

"Mudah saja," Rokok miliknya ia ketukkan pada asbak diantara mereka. "Satu, punya tempat pulang. Dua, jadi keras kepala."

Shaenette kembali memandangi matahari terbenam di depannya dan mendecih. "Dasar." Badannya masih menghadap kawan lelakinya itu

"Shae,"

"Apa?" Sahut Shaenette tanpa mengalihkan pandangannya.

"Tolong ajari aku supaya bisa sepertimu."

"Sepertiku?" Shaenette menghela nafasnya, lalu kembali menatap Ethan. "Kamu ingin jadi diriku yang mana?"

"Yang pintar. Yang tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan juara kelas. Yang memiliki banyak kesempatan untuk membuktikan diri. Yang disayangi orang-orang di sekitarnya."

Shaenette terkekeh, "Kau sangat haus academic validation."

"Memang," Ethan ikut terkekeh.

"Jadi bagaimana caranya?"

Perempuan itu terdiam sebentar, "Itu yang aku tidak tahu."




Sorry that it's not perfect yet. It's my first time writing a story.

de nouveauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang