empat puluh

7.5K 318 3
                                    

Happyreading🕊️












Duduk di balkon dengan secangkir coklat panas mengamati bintang dan padatnya jalanan ibukota adalah moment yang tepat untuk overthinking.

Seperti Sila kali ini. Sepulang dari rumah orang tuanya Sila mulai berpikir segala kemungkinan yang terjadi.

Kemungkinan baik dan buruknya.

Detik ini Ia sadar, dirinya merasakan apa yang Rio rasakan dulu. Pilihan yang sulit, namun Sila tidak akan mengulang kesalahan. Dia tidak boleh memutuskan pilihan ini sendiri. Dia harus memberi tau Rio dan menemukan solusi bersama.

Sila menghubungi Rio, menekan tombol video call. Sebenarnya bisa saja Sila hanya telpon, namun Ia ingin melihat wajah Rio.

Tak butuh waktu lama, telfon tersebut dijawab memperlihatkan Rio yang tengah berkutat dengan tumpukan pekerjaan di depannya.

"Sibuk ya?" Sapa Sila lebih dulu.

Rio menandatangani berkas lalu menutupnya, "enggak kok," sebenarnya dia sangat sibuk, hanya saja menyempatkan seluruh waktunya untuk Sila, "tumben telfon jam segini? Biasanya udah tidur."

Sila melirik jam yang menunjukkan pukul sepuluh, "belum ngantuk."

"Rice bowl yang aku kirimin udah dimakan?" Rio memastikan.

"Udah kok. Enak banget. Kamu beli dimana?"

"Langganan Keynan sih itu," Rio tidak suka nasi, "kata Keynan enak, yaudah aku pesenin juga buat kamu. Kalau suka lain kali aku beliin lagi."

Senyum Sila tertarik, "harusnya aku juga masakin kamu makan malam nggak sih?"

"Harusnya gitu ya, biar ada timbal balik," usil Rio, kalau Sila mengiyakan kan lumayan, Rio bisa main ke appart cewek itu.

"Aku masakin sekarang, terus aku kirimin kurir. Kamu mau apa?"

Nah kan, tembakan Rio tepat sasaran, "jangan dikirim kurir, aku kesana sekarang. Masakin apa aja asal kamu yang masak."

"Sushi?"

Rio tampak meraih jaketnya, "itu ada nasinya sayang."

"Oh iya," sila menepuk keningnya pelan, "pizza?"

"Emang kamu bisa bikin pizza?" Terlihat disana Rio mulai masuk kedalam mobil.

Gercep banget, heran.

"Bisa dong."

"Perlu sesuatu dari luar?" Lelaki itu memutar kemudi dan keluar dari halaman rumah.

"Kamu bawain minumannya aja."

"Mau minum apa?"

"Terserah yang penting dingin."

"Oke sayang. See you."

"Bye."

Telfon terputus, Sila bangkit dengan senyum lebarnya.

Perasaan tadi dia lagi overthinking, kenapa abis telfon Rio jadi happy gini?





* * *






Bel berdenting tepat saat Sila membuka adonan yang telah ia proofing. Gadis itu mencuci tangannya di wastafel lalu beranjak membuka pintu.

"Kan udah aku kasih tau sandinya," Sila mengambil alih belanjaan yang Rio bawa.

"Tetep aja aku masuk kalau kamu izinin," Rio menahan barang bawannya, "biar aku aja. Udah jadi belom pizza nya?"

"Belum," mereka berjalan beriringan ke arah dapur, "baru aja selesai di proofing."

You Are My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang