Haerin dan Danielle sudah memposisikan tubuh mereka dengan nyaman di atas tempat tidur. Tidak saling berhadapan, tetapi bersebelahan. Setelah itu terdengar helaan napas berat Danielle.
"Pelan-pelan aja, Danielle," respon Haerin sembari mengusap pelan jemari milik temannya itu, "Pasti sakit banget, ya?"
Danielle tersenyum getir, "Ya gitu lah."
"Dulu, gue sebenernya gak tinggal di sini," ia mulai bercerita.
Haerin fokus mendengarkan tanpa berniat untuk bertanya.
"Dulu gue tinggal di Aussie, karena kan papa gue emang warga sana," Haerin mengangguk mengerti dan menunggu Danielle melanjutkan ceritanya.
"Waktu itu, gue habis kerja kelompok di rumah temen yang kebetulan emang satu komplek sama gue. Karena jaraknya deket, yaudah lah pulangnya gue jalan kaki aja, walaupun waktu itu posisinya udah jam 8 malem."
"Lo tau? Malem itu adalah saat yang paling gue sesalin seumur hidup. Gue-" Danielle menjeda ucapannya sebentar ketika air mata kembali lolos membasahi pelupuk matanya.
"Gue dilecehin, Rin," akhirnya tangis Danielle kembali pecah.
Tiga kata itu membuat Haerin menegang seketika. Sedari tadi, ia sudah menebak apa yang sebenarnya terjadi. Dan ternyata, dugaannya benar. Walaupun ia sudah meyakinkan dirinya bahwa itu tidak mungkin terjadi.
Haerin mengusap punggung Danielle ketika melihat temannya itu memeluk dirinya dengan sangat erat.
"Waktu itu gue beneran kayak orang gila yang berjuang nahan semua rasa sakit itu. Nggak cuma mental gue, fisik gue juga luar biasa sakit, Rin."
Air mata Haerin ikut meluruh. Hatinya memang selembut itu dan ia dapat dengan mudah menangis jika melihat orang-orang terdekatnya menangis.
"Jangan nangisin gue, Haerin. Jangan nangisin orang yang udah gak punya harga diri lagi kayak gue," ucap Danielle pilu.
Haerin menggeleng keras, "Danielle, please jangan berpikiran kayak gitu. Hati gue sakit banget."
Danielle bersusah payah berusaha melanjutkan ceritanya, "Waktu itu pelakunya ngelakuin hal yang sama persis kayak yang lo lakuin tadi. Tangan gue ditarik, mulut gue dibekap, terus gue diseret paksa sampe ke rumah dia. Yang lebih gilanya lagi, pelakunya itu tetangga gue, dan sialnya waktu itu gak ada satu orang pun yang liat."
Haerin benar-benar dibuat terkejut berkali-kali lipat saat ini. Ia tidak pernah tahu, bahwa teman dekatnya yang seceria itu, menyimpan luka yang begitu dalam, yang mungkin tidak akan bisa sembuh seumur hidupnya.
Rasa bersalah juga memenuhi hati Haerin. Andai tadi ia berpikir sebelum bertindak, pasti keadaan tidak akan menjadi seperti sekarang. Ibaratnya, Haerin memperparah luka dalam diri Danielle yang sama sekali belum mengering.
"Sorry Danielle, harusnya tadi gue gak langsung narik lo gitu aja."
"Lo gak salah sama sekali, Haerin. Jangan terus-terusan nyalahin diri lo sendiri."
"Bahkan habis kejadian itu, gue bener-bener kesusahan banget buat cerita ke orang tua gue. Tapi yang namanya orang tua pasti tau kalo anaknya lagi gak baik-baik aja."
Haerin mendesah pelan. Andaikan orang tuanya juga seperti itu.
"Gue sempet ditanganin sama mamanya temen baik gue di sana, karena kebetulan mamanya emang udah lama kerja jadi psikiater," lanjut Danielle, "Tapi gue udah lost contact sama dia sejak gue mutusin buat mulai hidup baru di sini seolah-olah gak pernah terjadi apa-apa."
"Udah dua kali Jeno narik-narik tangan gue. Risih banget sebenernya, tapi sebisa mungkin gue tahan lah. Tapi yang tadi bikin gue bener-bener langsung flashback. Anyway, gue seneng banget akhirnya ketemu waktu yang tepat buat ceritain semuanya ke lo. Sakit sih karena gue harus gali lagi semua memori buruk itu, tapi kalo boleh jujur, rasanya lega banget."
KAMU SEDANG MEMBACA
Wishlist || Kang Haerin
FanfictionTanpa Haerin sadari, setiap kali ia memohon kepada Sang Pencipta, segala hal yang memang sudah buruk, kini menjadi semakin buruk lagi. Hingga Haerin sadar, bahwa ini sudah saatnya bagi dia untuk memperbaiki semuanya, walaupun ia harus merelakan diri...