Denotator (2)

12 3 0
                                    

Ini yang Dr. Philips takutkan, dengan cepat kelima pohon itu menyerap nutrisi tanah Kota Cirebon. Sungai-sungai mulai kering, bahkan sumur-sumur mulai kering lebih cepat daripada musim kemarau tahun-tahun sebelumnya. Warga kota mulai panik dan ketakutan. Berkebalikan dengan keadaan Kota Cirebon yang terus mengering, kelima pohon bercahaya justru semakin subur, daunnya semakin lebat dan cahaya mereka semakin terang di malam hari. Atas usul dari Dr. Philips, pemerintahan Kota Cirebon mulai mengungsikan warganya ke tempat lain yang lebih aman dan mengisolasi Kota Cirebon dari siapapun kecuali untuk penelitian dan surat izin yang ketat. Kepanikan terjadi di mana-mana, orang-orang mulai mengekang pemerintah dan para peneliti pohon bercahaya— mengatakan mereka selama ini tidak becus mengurus pohon bercahaya. Persoalan pengungsian ini tidak sesederhana yang dibayangkan, banyak warga yang menolak diungsikan sehingga di beberapa tempat perlu adanya pemaksaan. Setelah melalui berbagai halangan pengungsian, Kota Cirebon benar-benar kosong ditinggalkan warganya. Hanya peneliti yang sesekali melakukan observasi entah itu pada unsur tanah, udara dan keadaan kota dari berbagai aspek.

Dr. Philips dengan tim peneliti selalu mengenakan masker gas karena udara di Cirebon mulai beracun, tim peneliti Dr. Philips mengidentifikasi kadar karbondioksida yang begitu tinggi. Di saat mereka mulai meneliti pohon-pohon itu, akar-akar mereka menjalar dengan cepat mengganggu jalannya penelitian, semua peneliti panik dan kabur. Bahkan ada yang menjadi korban jeratan dan dilempar oleh akar pohon yang dengan ganas mengincar mereka. Dr. Philips menarik semua tim penelitinya dan memindahkan pusat penelitiannya di Kapetakan, bagian paling pinggir Cirebon yang berdekatan dengan Indramayu, di sini udara lebih bersahabat.

Di tiap-tiap perbatasan ataupun jalur masuk Kota Cirebon, dijaga oleh pasukan gabungan antara TNI dan Kepolisian dengan pos-pos dan kawat berduri yang melarang keras siapapun lewat tanpa izin, Kota Cirebon tidak bisa ditinggali lagi. Semua warga telah mengungsi, udara jadi pekat dan beracun, keadaan Kota Cirebon bagai kota mati yang ditinggalkan.

Dr. Philips melepas masker udara dan baju pengaman dari paparan udara yang beracun di Kota Cirebon, ia baru saja pulang setelah melihat keadaan Kota Cirebon dan mengidentifikasi beberapa hal, seperti kadar karbondioksida, dan tingkat kekeringan tanah Kota Cirebon. Berita mengenai Kota Cirebon tersebar sampai ke mana-mana, laporan penelitian tim peneliti Dr. Philips bahkan banyak dibaca karena banyak orang yang penasaran mengenai keadaan Kota Cirebon. Dr. Philips menerima telepon dan duduk di bangku teras pusat penelitian pohon bercahaya yang sekarang bertempat di kontrakan dua lantai di Kapetakan, kecamatan paling ujung yang berbatasan dengan Indramayu.

"Akhirnya kau bisa ke sini, kapan kau sampai?"

"Aku akan terbang dari Bali ke Jakarta, aku harus mengurus beberapa hal dulu di Jakarta. Tidak lama, aku akan segera ke tempat penelitian mu. Aku mendengarnya dari berita, memang jadi semakin buruk dan mengerikan. Aku selalu berdoa semoga pikiran jelek mu hanya pikiran jelek mu" ucap temannya dari seberang telepon.

"Doaku sama denganmu" ucap Dr. Philips pelan. Lalu mereka berbincang sedikit bertanya kabar sekadar basa-basi dan menutup telepon. Dr. Philips menelepon istrinya, meminta maaf untuk yang kesekian kalinya, dirinya belum bisa pulang. Anak dan istrinya dia pindahkan ke Bogor, sudah seminggu dirinya tidak pulang saat terakhir kali dirinya menghantar anaknya pindah ke Bogor.

***

Sudah sekitar dua minggu Bentala tinggal di Indramayu dan belum bisa pulang ke Cirebon. Hal itu terjadi karena seminggu lalu ia mendengar berita pengungsian dari pemerintah Kota Cirebon. Dirinya segera mengambil barang penting di rumahnya di Cirebon dan segera kembali ke Indramayu. Dia melihat jalanan mulai rusak karena akar-akar pohon bercahaya yang menjalar, juga beberapa gedung yang mulai dililit akar dari pohon bercahaya. Bentala memikirkan Gumitir, dengan siapa ia akan mengungsi? Ia sempat mampir ke rumah Gumitir, ingatan akan Gumitir menggulung dan menyerang pikirannya bagai badai di lautan lepas. Namun, tidak ada siapapun di sana.

Seminggu itu Bentala masih memikirkan Gumitir, dia juga mendengar kabar-kabar buruk mengenai keadaan Kota Cirebon yang semakin memburuk dan tidak cocok ditinggali. Udara di kota itu semakin pekat dan beracun. Bentala di Indramayu disibukkan dengan membantu pekerjaan rumah. Mengupas bawang, kadang-kadang menyiram tanaman depan rumah. Ancala jadi jarang pergi seminggu ini dikarenakan berita pengungsian itu. Entah mungkin pikiran Ancala sedang pusing mengkhawatirkan bisnisnya.

Siang itu Bentala menonton televisi yang menampilkan keadaan Kota Cirebon. Di jalan-jalan yang berserakan dan tanpa satupun orang terlihat itu ditumbuhi akar-akar dari pohon bercahaya, keadaan semakin buruk kala akar-akar itu juga merusak gedung-gedung di kota. Kota Cirebon seperti sudah ditinggalkan manusia bertahun-tahun. Benar-benar terlihat seperti kota mati. Udara kota jadi lebih pekat, terlihat seperti kabut berwarna hijau pekat yang menutupi Kota Cirebon. Angin seolah berhenti berhembus di kota ini. Reporter menaiki helikopter dengan masker gas dan mengambil gambar menggunakan drone yang terbang ke sana ke mari memperlihatkan keadaan kota yang semakin memburuk.

Mereka juga menayangkan keadaan Kota Cirebon kala malam hari dan reporter menjelaskan keadaanya. Terlihat indah memang dengan kelima sumber cahaya dari pohon bercahaya yang kini bersinar semakin terang berwarna merah yang menimbulkan keindahan juga sekaligus menimbulkan kesan mengerikan. Jika dilihat dari kejauhan, dari arah timur saat malam hari, Kota Cirebon seperti hendak menerbitkan matahari dari arah barat. Orang-orang semakin ngeri melihat pemandangan Kota Cirebon. Lalu tayangan laporan berita beralih pada pohon bercahaya utama di pelataran gedung negara yang kini mencapai tinggi seratus meter lebih dan memiliki bunga di batangnya yang masih kuncup.

Bentala memperhatikan bunga itu lamat-lamat, dia merasakan keberadaan yang kini ia rindu, dia merasakan kerinduan dan perasaan kuat kala menatap bunga yang kuncup itu. Bentala berdebar hatinya serta pikirannya tidak karuan namun matanya terus menatap lamat-lamat layar televisi yang tengah menayangkan bunga yang masih kuncup di batang pohon bercahaya.

"Gumitir?" bagaimana dia bisa merasakan adanya kehadiran Gumitir di bunga yang masih kuncup itu? Bentala jadi tidak berpikiran jernih, dia ingin sekali pergi ke tempat itu, ia ingin memastikan hatinya— memastikan apa yang dia rasa, apa benar Gumitir ada di dalam kuncup bunga itu? Tayangan laporan mengenai Kota Cirebon berhenti dan berganti pada laporan gempa yang akhir-akhir ini tengah mengguncang laut Jawa yang jika ditarik garis lurus, searah dengan pesisir di Indramayu.

"Akhir-akhir ini jadi sering terjadi bencana, untung saja gempa bawah laut itu tidak besar sehingga tidak bisa menimbulkan tsunami. Mungkin bisa sampai sini, kalau sampai terjadi tsunami" ucap Pak Amin yang tiba-tiba bergabung di ruang TV dan membuyarkan pikiran Bentala.

Bentala lalu memikirkan rencana agardia bisa sampai ke tempat itu, bagaimana jika Gumitir benar-benar ada di sana?Bentala mengesampingkan akal sehatnya, atau mungkin akal sehatnya sudah hilangjika berkaitan dengan Gumitir? Tapi bagaimana caranya dia akan ke sana? YangBentala tahu dari laporan berita, dia tidak bisa memasuki Kota Cirebon karenaudara yang beracun serta akar pohon yang menyerang agresif. Bagaimana dia akanke sana? Lalu dia memikirkan untuk menggunakan peralatan seadanya di rumah ini,maka siang itu Bentala mulai mencari apapun yang dapat dia gunakan— setiaporang di rumah itu menanyakan Bentala "sedang apa", ataupun "untuk apa alatitu?" Bentala menjawabnya bukan apa-apa. Ancala merasa Bentala sedangmerencanakan sesuatu, dan dia sangat yakin sesuatu itu berujung nekat. 


p.s. 

Aku juga nulis cerpen di Ig (IG: @andipati17) follow ya :)

Cirebon dan Pohon Balas Dendam (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang