38 | Luka

4.2K 391 102
                                    

Vin, Garvin, haters kamu banyak sekarang. Nggak usah dilanjut aja gimana ceritanya? Wkwkwkwk

Kirain di chapter kemarin tu udah pada nggak emosi sama Garvin, ternyata masih sama aja. Malah makin parah hahahaa. Padahal, banyak hint yang mengarah ke 'kenapa Garvin kayak gitu' lho ☺️

But it's okay, kemarin kan masih cerita dari POV Jenna. Nanti dijelasin dari POV Garvin. Mari kita lihat, apa masih pada marah sama Garvin. Kalau masih, terima nasib aja, Vin 😁

Btw, pembaca di sini ada yang minor age nggak sih? Kalau ada, please read this part responsibly, ya. Soalnya, ada bagian yang slightly 18+.

Sebenernya, dari awal baca ini harusnya udah tau kalau cerita ini genre metropop dan aku udah kasih label mature di depan. Jadi, yang umur minor harusnya nggak baca cerita ini.

Well, gitu aja.

Part ini panjang banget, so here you go!

***

"Audi."

Mendengar namanya dipanggil, Audi mendongak dan matanya sontak membeliak ketika mendapati Garvin berdiri di depannya dengan wajah dipenuhi lebam. Gadis itu berdiri dengan ekspresi khawatir. "Pak Garvin kenapa? Kok, mukanya babak belur gitu?"

"Saya nggak apa-apa. Jenna ada di dalem?" tanya Garvin menyebutkan tujuan utamanya datang ke lantai 6 kantor Spectrum itu.

"Bu Jenna izin sakit hari ini, Pak."

"Hm? Jenna sakit?"

Audi mengangguk. "Iya, kemarin Bu Jenna tiba-tiba pingsan. Terus langsung dibawa ke UGD sama anak-anak, tapi habis itu langsung pulang, sih, Pak. Bu Jenna cuma kecapekan," jelas asisten Jenna itu.

Garvin masih bergeming, tidak mengetahui kabar itu sama sekali. Kemarin dia sangat sibuk dengan finalisasi audit sehingga tidak sempat mengurusi hal lain selain pekerjaannya.

"Bu Jenna nggak bilang apa-apa sama Pak Garvin?" tanya Audi.

Garvin menggeleng. "Yaudah, saya pergi dulu."

Audi mengangguk mengiyakan bersamaan dengan Garvin yang melenggang pergi meninggalkan ruangan finance.

Tidak hanya meninggalkan ruangan finance, Garvin juga keluar meninggalkan gedung Spectrum dengan langkah tergesa. Dia bergegas menuju mobilnya dan mengendarainya menuju apartemen milik Jenna.

Sesampainya di halaman parkir apartemen Jenna, Garvin turun dari mobil, lalu berjalan cepat memasuki lobi. Pak Agus tampak bertugas di meja depan, membuat Garvin menghela napas lega sebab itu berarti ia bisa meminta tolong pria paruh baya itu untuk membukakan akses ke atas.

"Selamat siang, Pak Agus," sapa Garvin.

"Selamat siang, ada—eh, Mas Garvin!" Mata Pak Agus memancarkan binar bahagia serta senyumnya juga terulas lebar. "Lama nggak keliatan, Mas."

"Iya, Pak," balas Garvin yang juga balas tersenyum.

"Ada apa, Mas, ke mari?"

"Pak, boleh bukakan pintu akses? Saya mau ketemu Jenna. Dia lagi sakit."

"Mbak Jenna?" Pak Agus menelengkan kepalanya. "Mbak Jenna, kan, sudah pindah, Mas."

"Hah? Pindah, Pak?" Garvin sangat terkejut dengan informasi itu. Pak Agus mengangguk membenarkan. "Sejak kapan?"

"Sekitar dua atau tiga minggu yang lalu, Mas. Mbak Jenna nggak ngasih tau Mas Garvin?"

Garvin menggeleng pelan. Otaknya benar-benar blank. Jadi, selama gue di New York, Jenna beneran pindah rumah?

Pay Your Love ✓ [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang