35. ᴩᴇʀɪ ᴄᴜᴀᴄᴀ

1 0 0
                                    

"Tidak ada manusia yang benar-benar tidak berguna di dunia ini"

Sore ini aku--ralat, kami di suguhkan dengan pemandangan sore yang gelap. Dengan awan mendung yang menyelimuti bumi, seakan tidak memberi celah bagi langit untuk memancarkan sedikit cahayanya.

Suara guntur terus berdentum, seperti bunyi musik disko yang membuat ku terasa sesak--walau tidak pernah pergi ke acara-acara seperti itu, waktu kecil aku pernah memiliki trauma dengan gejala alam itu. Bermula ketika ayahku madih hidup, saat itu aku dan ibu masih tinggal di rumah lama di kota sebelah, wanita selingkuhan ayah datang dalam keadaan kacau. Ia terus meracau dan mencaci maki ibuku, dengan segenap keberanian aku berusaha mendorong wanita jalang itu agar menjauh dari ibu. Awalnya ia sempat terjatuh, namun na'as ia kembali bangkit dan langsung mendorong balik tubuhku hingga menghantam meja makan.

Suara benturan itu berbunyi nyaring bersamaan dengan bunyi guntur yang menggelegar hebat, bagian belakang leherku rasanya seperti patah dan setelahnya aku tak sadarkan diri. Entah apa yang wanita itu lakukan selanjutnya setelah ketidak sadaran diriku. Hal itu lah yang menbuatku menjadi trauma terhadap guntur dan petir, juga yang menbuatku semakin benci dengan ayah, bisa-bisanya dia menyia-nyiakan wanita sebaik ibu hanya demi jalang murahan itu?

Selera ayah benar-benar buruk.

Tapi apa guna nya aku membenci ayah, toh dia sudah tiada. Balas dendam dengan menghancurkan kuburannya? Buang-buang waktu.

Bunyi guntur kembali berbunyi, aku meringkuk di atas sofa dengan selimut mengurung tubuhku. Atlas duduk di sebelahku sambil terus mengusap puncak kepalaku, aku tau dia khawatir, tapi.. Ini sudah biasa terjadi.

Harusnya sore ini kami habiskan dengan bermain dan bercanda gurau, namun guntur dan petir yang berbunyi serentak menghancurkan rencana kami. Dan itu semua tak luput dari traumaku, aku pun juga ikut andil dalam merusak rencana itu.

"Kamu mau mendengar ceritaku? Setidaknya dapat membuatmu lebih tenang" aku tidak dapat melihat wajahnya sebab tertutup oleh selimut, aku hanya mengangguk di balik kain tebal itu.

"Kamu tau tentang kisah peri cuaca?" Atlas kembali bertanya, aku masih diam tidak menanggapi. Masih menunggu kelanjutan dari kisah yang di ceritakannya.

"Seorang peri bernama Chloe, berambut ungu tua panjang. Memiliki mata sejatam pedang yang pernah kamu lihat, semua peri yang berpapasan dengannya akan selalu menunduk dan segan jika berhadapan dengan Chloe."

Atlas menjeda kalimatnya beberapa saat "tapi apa yang peri lain bayangkan tentang dirinya tak seperti yang mereka duga, Chloe adalah peri baik dengan suasana hati yang selalu buruk, itu sebabnya ia selalu diam dan tidak pernah menanggapi semua omongan para peri yang lain"

Lalu apa hubungannya dengan cuaca? Batin ku dalam hati.

"Suatu hari, ia pergi ke singgahsana tuhan. Mengeluhkan segala hal yang membuatnya terusik, sebagai penghibur hati, tuhan memberinya kemampuan untuk mengendalikan cuaca"

Aku menyibak sedikit selimut yang menutupi wajahku, menatap matanya yang membuatku tenang, kali ini pengecualian dengan debaran jantung. Aku semakin menipiskan jarak di antara kami, menyandsrkan kepalaku di atas bahunya sembari memejamkan mata.

Atlas selalu punya seribu cara untuk membuatku tenang dan nyaman berada di dekatnya.

"Kemudian peri turun kebumi untuk mengetes kekuatan cuacanya itu, tapi.. Sudah berkali-kali ia mencoba dan hasilnya tetap gagal dan gagal. Sempat terbesit dalam pikirannya untuk mengadu pada tuhan, namun ia tidak mau terlihat begitu rapuh di hadapan tuhan dengan terlalu sering mengeluh, harus ada usaha untuk mencapai keberhasilan." lelaki itu mengusap bahuku pelan, kepalanya ikut bertopang di atas kepalaku.

Terdengan suara nafasnya yang teratur di iringi suaranya yang tenang seperti air mengalir "tapi tetap saja, itu membuat sang peri merasa bersedih. Tak lama hujan turun mengguyur kota serta dirinya yang sedang duduk di atas kelopak bunga, lalu peri itu berteduh di bawah pohon beringin yang berada tak jauh dari bunga. Mata nya tak sengaja tertuju pada seekor kupu-kupu yang sayapnya sudah layu, dengan sifatnya yang baik hati ia membantu sang kupu-kupu untuk mengembalikan sayapnya seperti semula menggunakan serbuk peri miliknya"

"Alangkah bahagianya Chloe melihat kupu-kupu itu dapat kembali terbang di bawah teduhan pohon beringin. Cahaya matahari mulai masuk memalui celah-celah dedaunan rindangnya, peri itu keluar dari tempatnya berteduh dan alangkah terkejutnya ia ketika melihat matahari bersinar cerah. Ia baru menyadari bahwa cuaca dapat berubah tergantung keadaan hatinya, pelajaran yang dapat di ambil adalah.. Tetaplah bergembira walau dalam keadaan segelap-gelapnya, karna itu akan membuat keadaan sekitarmu juga mendukung isi hatimu"

Sungguh, aku terenyuh mendengar penuturannya. Aku mengerti maksud pesan yang ia sampaikan, aku bisa melawan trauma ku terhadap guntur jika aku selalu dalam keadaan tenang dan tidak takut, maka petir dan guntur itu tidak akan menjadi masalah besar bagi ku.

Aku suka dengan caranya menyampaikan pesan padaku lewat cerita-cerita menariknya, aku tidak peduli itu cerita nyata atau hanya khayalan buat-buatannya saja.

Yang jelas, Atlas telah membuat ku berkali-kali merasakan apa itu 'bahagia'.

Azura 🧚🏻

Universe SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang