11

159 27 1
                                    

Hari ini — hari yang sebenarnya sangat ingin Danielle hindari — akhirnya tiba.

Yap, mulai hari ini, kegiatan sekolah akan berjalan seperti biasanya lagi. Artinya, gadis itu harus kembali siap berurusan dengan Jeno, si laki-laki gila itu.

Salahkan saja dirinya yang tidak pernah berani melaporkan hal-hal seperti ini kepada siapapun. 

Tapi kali ini, ia berjanji akan melaporkan kepada orang tuanya jika tindakan Jeno sudah sangat melewati batas. Selama dirinya masih baik-baik saja, ia akan tetap bungkam. Ya, walaupun ia tebak dirinya tidak akan pernah baik-baik saja selama ia berurusan dengan Jeno.

Namun Danielle berusaha untuk selalu berpikir positif. Ia harap, tidak ada hal buruk yang akan menimpanya.

"Pagi, mbak pacar," entah sejak kapan dan dari mana, tiba-tiba sosok Jeno menampakkan dirinya di hadapan Danielle.

Beberapa murid terlihat saling berbisik saat menyaksikan pemandangan di depan mata mereka.

Seolah ingin memanas-manasi mereka, Jeno mengacak-acak rambut gadis blasteran itu.

"Cantik banget sih pacar gue," entah pujian tersebut tulus atau tidak, yang pasti Danielle malah merasa semakin dongkol dengan laki-laki di hadapannya.

Apalagi ketika melihat Jeno yang menaik-turunkan alisnya seolah bangga karena dapat memilikinya, membuat Danielle rasanya ingin mengeluarkan sumpah serapahnya sekarang juga.

"Gak usah pegang-pegang gue, bisa?" ucap Danielle setengah berbisik.

"Satu lagi, gak usah manggil-manggil gue 'pacar' terus."

Jeno tersenyum miring, "Sekarang gue punya hak buat ngelakuin apapun. Bahkan lo aja masih gak berani cerita ke siapa-siapa, kan?"

Danielle bergidik ngeri melihat pribadi Jeno yang seperti ini. Jeno terkadang sangat menyebalkan, tapi terkadang justru sangat menyeramkan seperti sekarang ini.

Sebelum Jeno semakin macam-macam, Danielle segera berjalan secepat mungkin menuju ke kelasnya.

Jeno terkekeh pelan melihat pujaan hatinya dari jauh. Mana bisa ia marah kepada gadis itu? Kalau pun hal itu terjadi, amarah itu pasti tidak bisa bertahan lama, karena mulai ada rasa ingin melindungi dari laki-laki tersebut. Ia tidak ingin bersikap terlalu kasar.

.

.

.

"Gimana progress kuenya?" tanya Minji penasaran.

Gadis bermarga Kang yang duduk di sebelahnya itu lantas mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto, namun di saat yang bersamaan, ia menatap sahabatnya heran.

"Perasaan lo gak pernah semangat sampe kayak gini kalo menyangkut tentang adek lo. Lo gak lagi pura-pura, kan?" selidik Haerin.

"Nggak lah! Gue excited banget tau!" pekik Minji bersemangat.

Haerin menatap teman sebangkunya itu dengan penuh tanda tanya.

Sejak kapan Minji-nya berubah seperti ini?

Kalau boleh jujur, ia akui Minji terlihat sedikit aneh dan berbeda akhir-akhir ini, tidak seperti dulu lagi.

Bahkan, sekarang ia tidak pernah mendapati Minji menangis lagi, di saat dulu hal tersebut merupakan rutinitas gadis itu sepulang sekolah.

Haerin mengulum bibirnya, tersenyum tipis. Ia merasa senang dan bersyukur atas hal ini.

"By the way, ini foto kuenya."

Wishlist || Kang HaerinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang