"Boleh temani aku sebentar?"
Aku mengamati tangannya yang kemudian beralih ke wajah tampannya. Sinar di wajahnya perlahan memudar dan memperlihatkan sisi yang belum pernah ia tunjukan di depan layar kamera.
Kenapa Jeonghan? Sedih tau melihatmu begini.
"Kau kenapa Jeonghan oppa?" ucapku pelan sembari kembali berdiri di sebelahnya. "Tidak usah ngomong kalau memang tidak mau ya."
Tanpa menjawab sepatah kata pun, ia hanya termenung mengamati langit lagi. Hanya saja kini disertai nafas berat. Sesekali ia memainkan kakinya.
Rembulan menyinari kami dengan cahaya redupnya. Walau redup, cahayanya tetap cukup untuk menerangi malam ini.
Aku tidak masalah dengan hal itu. Menemani seseorang disaat saat ini merupakan sebuah anugerah bagiku walau hanya berdiri seperti sekarang.
"Kau sendiri datang kesini? Orang tuamu dimana?" Jeonghan memecah keheningan dengan suara pelannya.
"Iya aku sendiri. Kedua orang tuaku ada di rumah," balasku tetap memasang kedua mataku pada Jeonghan. "Kenapa?"
"Kau tidak akan rindu mereka? Ada adik atau kakak?"
"Aku anak tunggal. Dan sepertinya aku tidak akan terlalu rindu dengan mereka. Aku kesini pun karena ingin mengejar mimpiku," balasku lagi.
Hembusan nafas Jeonghan terdengar berat. Raut mukanya menunjukan rasa gelisah.
"Aku.. dulu juga seperti kamu, (y/n)-ah. Hanya saja sekarang aku baru sadar betapa jauhnya aku dengan adikku padahal tinggal di bawah langit yang sama, negara yang sama, bahkan kota yang sama. Tapi, bertemu dengan keluargaku rasanya begitu sulit. Entah karena tidak ada waktu atau bentrok dengan jadwal mereka. Aku rindu rumah. Dimana aku bisa menghabiskan waktu dengan bersantai dan bermain bersama mereka terutama adikku."
"Kau tahu rasanya tidak bisa melihat pertumbuhan adik tersayangmu karena masa trainee? Menyebalkan," lirihnya disertai tawa hambar. Jeonghan mengacak rambutnya frustasi.
"Karena ini kau murung? Kau rindu rumah? Kau kangen adik kecilmu ya?" tanyaku lembut. Aku tersenyum lega karena akhirnya Jeonghan mampu memberi tahu penyebab kemurungannya.
Ia mengangguk pelan sembari menundukkan kepalanya.
"Kenapa aku malah mengingat hal konyol begini sih? Maaf ya padahal kamu mau tidur aku malah ngomong begini haha."
"Itu bukan hal konyol. Itu hal wajar kok," sanggahku cepat. "Jangan katakan hal seperti itu."
Jeonghan menatapku dengan senyum yang dipaksakan sebelum ia melanjutkan kata katanya.
"Cape aku jadi idol kadang. Tapi kalau tidak begini, yang memberi nafkah keluarga siapa?"
Aku menepuk nepuk punggung Jeonghan pelan. Ingin rasanya aku peluk dia tapi aku tahu diri. Mana mungkin aku punya hak untuk melewati batas. Kita berasal dari dunia yang berbeda. Idol dan warga biasa. Sama sekali tidak cocok.
"Pasti cape. Siapa yang tidak tahu kalau idol itu pekerjaan sulit. Aku tidak akan memintamu untuk semangat. Coba lihat wajahku," ucapku sembari meraih kedua pipi Jeonghan.
Pipinya dingin karena terpaan angin malam. Aku menatapnya sejenak dan berusaha mengumpulkan keberanianku untuk berbicara.
Diriku sendiri bahkan tidak tahu darimana keberanianku ini berasal. Aku hanya tahu bahwa ketika seseorang sedang bersedih, aku wajib menghiburnya.
Aku tidak merasakan penolakan dari gerak gerik Jeonghan. Aku tersenyum bangga padanya kemudian menarik nafas sebelum mengatakan sesuatu.
"Kau hebat Yoon Jeonghan. Kau idol terhebat yang pernah kutemui dan aku yakin adikmu pasti bangga melihat kakaknya sekeren itu di panggung dengan ribuan fans yang menyerukan namamu. Karena itu, terima kasih ya telah menjadi idol. Terima kasih atas kerja kerasmu untuk keluargamu. Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa kamu pun bisa beristirahat sebentar. Tidak semua harus selalu tentang kebahagian orang lain. Kamu pun berhak bahagia oke?"
Sejenak hembusan angin mengisi kekosongan jarak antara aku dan Jeonghan. Memang waktu bergerak dengan lambat saat ini, tetapi bisa kulihat perlahan sinar dan senyuman Jeonghan kembali. Jeonghan tersenyum hangat dan aku sangat bahagia melihatnya. Entah kenapa jantung ini berdebar kencang. Semoga saja Jeonghan tidak mendengarnya.
Dan senyuman itu merupakan senyuman paling manis yang aku lihat sebagai penutup malam hari ini.
Tiba tiba Jeonghan berpura pura batuk dan mengisyaratkanku menoleh ke arah jendela geser.
"Btw, kalau ini direkam kamu bakal kena masalah loh," Jeonghan melirik ke arah pintu penghubung balkon yang sudah dikerimuni empat orang.
Aku mematung. Dan benar. Ternyata disitu sudah ada Hoshi, Dk, Joshua dan Dino yang sudah menguping entah sejak kapan.
SEJAK KAPAN MEREKA DISANA ASTAGA. MATILAH AKU. MALU BANGET.
"Cie cie ada ape nihh," ejek DK menoel lengan Jeonghan. "Ga mau tau pokoknya hyung harus cerita sihhh."
"Aishh apa sii ga ada apa apa. Sana balik ke kamar kamu. Ugh bau alkohol banget kamu ih," Jeonghan mengibaskan tangannya seakan berusaha menghilangkan bau alkohol dari tubuh DK.
"CIUMMM," Hoshi dengan kemabukkannya malah mendekatiku.
"YA! HYUNG! JANGAN!" teriak Dino menghentikan Hoshi yang sejengkal lagi mencium pipiku. Aku shock sehingga hanya mematung di tempat.
"Maaf noona. Hoshi hyung memang begini kalau mabuk," tawa Dino terdengar sedikit stress lalu membawa Hoshi menuju kamarnya. "Oia noona ga tidur? Mau ikut minum dengan hyung kah?"
Muka Dino yang polos akhirnya menyadarkanku. Aku sontak menggelengkan kepala.
"Ah tidak, aku akan ke kamar sebentar lagi. Kau butuh bantuan Dino-ya?" tawarku agak kasihan dengan Dino karena menopang tubuh Hoshi yang lebih besar daripada badannya sendiri.
Ia menggelengkan kepalanya dan berpamitan duluan untuk ke kamar bersama dengan Hoshi yang sudah mabuk berat.
Dia sudah minum berapa teguk ya?
"Ayolah hyunggg," rengek DK menempel pada Jeonghan seperti koala. "Kasih tau gaa."
"Ishh sana gaaa," omel Jeonghan memukul kepala DK pelan. "Bauuu!"
"Ayolahh-," ucap DK kemudia berhenti karena ingin muntah.
"WOI AWAS JANGAN MUNTAH DI SINI," Jeonghan berteriak panik dan akhirnya DK malah muntah di baju Jeonghan.
"YAAA LEE SEOKMIN!!" teriak Jeonghan dan akhirnya ia memilih mengalah. Dengan sekuat tenaga yang tersisa, Jeonghan menuntun DK kembali ke kamarnya.
"Liat saja ya kau besok akan kubaless!" gerutu Jeonghan kesal namun pasrah.
Kulihat punggung mereka berdua menghilang dibalik pintu kamar Jeonghan. Aku tersenyum simpul melihat kelakuan mereka. Ada saja gebrakan tiap hari ya?
"Kau dengar semua ya?" tanyaku pada Joshua yang masih tetap disampingku. Aku menoleh dan mendapatinya tersenyum manis tanpa memberiku jawaban pasti.
"Gimana yaa," balasnya lembut lalu kemudian berjalan mendahuluiku.
"Tidak perlu kamu pikirkan kok (y/n)-ah. Aku akan menyimpan semuanya sebagai rahasia antara kita bertiga. Oke? Aku duluan ya. Selamat malam jangan lupa untuk bermimpi indah nanti. See u tomorrow (y/n)-ah," Joshua menunjukkan jari kelingkingnya sebagai pengikat janji antara kami bertiga.
Aku menghela nafas pendek lalu membalas senyumannya dengan jari kelingkingku.
"Selamat malam juga Joshua. Mimpi indah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Love || Yoon Jeonghan
Hayran Kurgu"Sampai detik ini pun, aku tidak pernah menyesal telah menyayangimu sampai akhir." ~ Yoon Jeonghan "Maaf, ternyata hatiku seegois ini memintamu hadir dalam setiap doaku." ~ (y/n) Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Begitulah cara takdir menuli...