Fakta Baru

210 8 0
                                    

Tidak lama mata gadis itu tertutup rapat mengindahkan semua kesakitan yang merecoki setiap sendinya. Saat posisinya berubah tanpa sadar dia meringis lirih membuat Indri yang sejak tadi berdiri di samping ranjang gadis itu menitikkan air mata.

Perlahan dia beringsut duduk di atas ranjang, kemudian mulai memberikan antiseptik pada luka anaknya. Walaupun bukan anak yang lahir dari rahimnya, tanpa Asya tahu kalau ibu yang dibencinya ini begitu menyayanginya. Hatinya ikut tersayat melihat keadaannya. Indri terkesiap kala Asya melenguh.

Namun, sedetik kemudian Asya kembali tidur tenang membuat Indri leluasa menutup luka terakhir Asya dengan plester. Semua lebam di wajah Asya sudah dia obati. Sekarang Indri segera beranjak sebelum Asya kebangun dan marah-marah melihat dirinya. Baru Indri hendak menggerakkan knop pintu suara Asya terdengar.

"Bun ... ajak Asya ya, Asya gak punya siapa-siapa lagi di sana. Asya pengen bareng bunda aja..."

Indri mengalihkan matanya ke arah lain, tidak sanggup melihat kesakitan putrinya. Tidak tau berapa banyak kesakitan yang Asya pendam.

"Bun... Asya sakit bun, Asya sakit,"

Tanpa tahu maksud perkataan Asya barusan, Indri segera berlari keluar. Meninggalkan Asya yang terus meracau.

¤¤¤

Sinar matahari pagi menelisik masuk lewat celah jendela mengganggu tidurku. Terpaksa mataku terbuka namun sedetik kemudian mataku kembali tertutup sebelum tanganku menghalau cahaya matahari yang maksa menerobos ke dalam retinaku.

Seperti pagi sebelumnya, aku melirik nakas. Di sana sudah ada nasi dan beberapa lauk. Tanpa mencari tau pun, aku sudah tau siapa orang yang diam-diam selalu menyiapkan makan.

Aku beringsut duduk dan meraih air lalu meneguknya sampai tandas.

Sekilas aku melihat beberapa plester yang menutup luka di tanganku. Aku mengernyit. Lalu berjalan menuju cermin untuk memastikan sesuatu.

Aku menghembuskan napas perlahan. Apa mungkin, mimpiku semalam saat tante Indri mengobati luka ku itu nyata?

Di luar nalar, masih saja dia bersikap memuakkan. Aku tau semua yang dia lakukan hanya untuk menarik simpati ayah. Dengan begitu dia bisa menghasut ayah untuk mengusirku dari rumah ini. Tidak puas kah dia sekarang saja aku sudah di telantarkan seperti ini.

Tanganku meraih ponsel di antara batal dan guling. Teringat kalau hari ini adalah jadwal medical check up. Aku harus memberi tau mbak Aries akan datang siang ke tempat laundry.

Setelah mendapat balasan. Aku segera bersiap.

¤¤¤

"Papa, aku pengen deh hari ini jalan-jalan sama papa kaya Sasa dan Sani. Kemarin mereka main ke mall yang baru buka itu loh pa.."

"Boleh, tapi besok weekend ya, sekarang papa harus kerja dulu."

Tanpa mendengarkan pembicaraan mereka lebih jauh. Aku melewati keduanya begitu saja. Tidak memperdulikan teriakkan dari adik tiriku.

"Kak Asya, besok weekend kita ke mall ya, jangan lupaa!!"

Aku tersenyum miring. Tidak sudi aku menuruti ajakannya.

"Kak Asyaa ... kak Asya..."

"Ngapain kamu ajak dia, Anja. Mending kita pergi bertiga saja bareng sama Mama, iya?"

Samar aku mendengar suara pak tua yang menenangkan anaknya itu.

Aku menjadi ragu kalau Anja anak tirinya pak tua, melihat cara dia memperlakukan anak itu seperti anak kandung sungguhan, aku berpikir mungkin Anja adalah anaknya di luar nikah. Atau ku sebut saja dia anak haram.

Bayanganku terlempar 2 tahun lalu, waktu itu 7 hari kepergian bunda, pak tua memboyong dua orang asing ke rumah. Memperkenalkan mereka sebagai sodara dan ibu baruku. Waktu itu aku masih berumur 15 tahun sementara Anja masih kelas 6 sd umurnya sekitaran 12 tahun. Sejak saat itu, perlakuan ayah padaku semakin berbeda dari hari ke hari. Seolah tidak peduli dan bersikap acuh tak acuh. Hingga puncaknya kemarin saat dia benar-benar sudah membuangku.

Bukan untuk meminta izinku untuk menikah lagi, namun hanya menggertakku untuk merima keadaan.

Tidak lama, mereka menikah dan tinggal di rumah yang sama denganku.

Walaupun tante Indri bukan ibu kandung, namun dia memperlakukan ku baik seperti ke anaknya sendiri. Sama seperti Anja aku juga mendapatkan perhatian darinya. Namun hal itu, membuatku muak. Semua perhatian tante Indri begitu memuakkan. Dia wanita yang sudah merebut ayah dari bunda. Dia juga wanita yang telah merebut kebahagiaanku. Dia juga alasan kenapa Ayah bersika tidak adil. Aku yakin pasti dia yang sudah mempengaruhi ayah selama ini.

Aku mengangguk pada suster yang mempersihlahkan aku masuk ke ruangan dokter Aiman.

"Sudah berapa kali kamu melewatkan minum obatnya, Asya....?"

Dahiku mengerut, mengingat-ngingat. Lalu menatap dokter Aiman yang baru saja selesai membereskan alat yang telah digunakan untuk memeriksaku.

"Memangnya ada berapa sisa obatmu bulan ini?" tanya nya lagi.

"Ada 6, kalau gak salah dok,"

"Kamu harus meminumnya Asya. Secara teratur. Gak boleh gak di minum. Hasil pemeriksaan barusan keadaan jantungmu semakin buruk. Flak baru sudah mulai menumpuk di beberapa pembuh darah."

Tanganku meremas kertas bertuliskan resep obatku bulan ini. Berdasarkan kondisiku saat ini, dokter Aiman menambah dosis obat yang harus kuminum.

"Loh, Asya! Kok kamu di sini?"

Aku menoleh, mataku terbelalak kaget melihat Andra yang duduk di kursi roda.

"Andra? Kamu kenapa? Kamu sakit?" aku beringsut memerika setiap sudut tubuhnya. Memastikan kalau dia baik-baik saja.

"Eh, aku gapapa kok," katanya tertawa. "Yang sakit dia," tunjuknya pada seseorang yang berdiri di belakang Andra.

Aku mendongak heran, menilai cowok itu. Pakaian kedodoran yang dipakainya. Bibir pucatnya tersenyum ke arahku. Aku balas tersenyum singkat lalu menatap Andra, meminta penjelasan.

Cowok itu tersenyum lebar, "Kenapa kok natapnya begitu amat?" tanyanya.

"Kok kamu yang duduk di kursi roda? Kan dia yang lagi sakit," kataku gereget. Benar-benar sesuatu Andra itu.

"Jangan salahin aku. Dia yang mau kok," katanya ngeles.

Aku berdecak lalu menarik tangan Andra untuk berdiri.

"Berdiri kamu, biarin dia yang duduk di sana." Andra menurut.

"Heh Juned, duduk lo. Gegara lo gue jadi kenal omel kan sama calon istri gue,"

"Malah nyalahin orang."

"Bener kok, Asyayang. Dia yang pengen jalan. Daripada nganggur kursi rodanya yaudah aku dudukin. Iya kan, Ned?" Andra menoleh pada cowok yang di panggil Juned itu.

"Iya, kak. Aku yang mau kok. Jangan salahin bang Andra."

Aku menaikkan alis mendengar sebutan yang bocah itu lontarkan.

"Kalian..."

"Kakak-adik," jawab Andra cepat. Tangannya merangkul Juned kuat. Seolah takut kehilangan cowok itu.

"Kakak, Kak Asya kan? Yang sering di ceritain bang Andra. Aku tau banyak loh tentang kakak. Salam kenal kak, aku Zayn Geraldio. Tapi mulut lancang bang Andra yang manggilku Juned." Juned tersenyum lebar. Oh bukan Juned, tapi Zayn!

Aku balas uluran tangan Zayn, "Asya."

"Asya, kamu kok bisa di sini? Ngapain?" Andra mengintrupsi. Matanya menyorotku menuntut jawaban.

Aku mengalihkan mata dari Andra, "Eung, aku ... habis jenguk temen yang sakit,"

"Oh gitu," Andra mengangguk, Mungkin dia percaya. Aku berharap begitu.

"Sakit apa emang dia kak?" Aku menunduk pada Zayn. Kenapa dia kepo sekali siih.

"Paru-paru," jawabku asal.

"Sama dong kaya aku, aku juga punya penyakit kanker paru. Stadium 3."

Done.

PERGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang