36. ᴋᴇʜɪʟᴀɴɢᴀɴ

1 0 0
                                    

"Perpisahan, itu kenapa aku benci konsekuensi pertemuan"

Hujan deras masih mengguyur kota, suara musik yang aku setel pun ikut hanyut karna bunyi bising yang berasal dari gesekan air hujan dan genteng rumah.

Rumah ini tidak sesunyi biasanya, bahkan lampu-lampu rumah menyala di setiap ruangannya. Suara dentingan sendok dan piring juga ikut teredam oleh suara hujan, "aku tidak percaya kamu bisa masak" ujar Atlas sembari melahap satu sendok macaroni yang di bakar dengan keju mozarella di atasnya menggunakan wadah berbahan aluminium.

Itu makanan simple, mudah saja di buat. Aku memang tidak bisa memasak makanan yang rumit, masih bertahap. Lalu kenapa dia bilang aku pandai memasak? Anak kecil saja bisa membuat ini, apa dia tidak bisa masak, sehingga tidak tau kalau cara masaknya se-simple itu?

Sudahlah, anak lelaki sepertinya yang selalu keluyuran mana tau cara memasak.

"Hujannya masih deras, malam ini kamu tidur di rumahku aja ya?" aku menatap jendela kecil di dekat westafel, jendela yang kacanya pernah pecah akibat benturan botol beling yang pernah menerorku pertama kali, kenangan buruk yang tidak akan pernah bisa di lupakan.

Anak itu tampak berpikir sejenak sambil memain-mainkan sendoknya di atas piring.

"Kamu bisa tidur di kamar ibu, semua barang-barang miliknya telah ku bereskan" aku kembali berucap setelah tak kunjung mendapat jawaban dari Atlas. Anak itu mengangguk dan kembali melahap makanannya, dia kembali menjadi pendiam. Harusnya di saat seperti ini dia bersikap ceria, agar membuatku tidak di landa perasaan sedih akibat hujan deras yang membuat kepalaku pusing.

Aku menghela nafas "jangan diam-diam aja dong, aku bosan"

Atlas terkekeh melihat ekspresiku yang murung, dia mengangkat kepalanya menatap ku sebentar lalu berkata "aku lagi memikirkan sesuatu"

"Jangan memikirkan ku" sungguh, aku bercanda. Tapi nyatanya jawaban yang dia berikan membuat ku terpaku, kedua tanganku melemas "bagaimana kamu bisa tau kalau aku sedang memikirkan mu?" dari raut wajahnya aku dapat melihat Atlas terkejut bukan main, begitu pula dengan diriku.

"T-tapi.. Aku hanya bercanda tadi, kamu benar-benar sedang memikirkan diriku?!" aku melotot tak habis pikir, dia mikirin apa sih?

"Hahah, lupakan" Atlas membuang muka. Ah, baru kali ini aku melihatnya merah padam. Wajahnya terlihat menggemaskan sekarang, aku terbahak hebat dengan reaksi tak terduga nya.

"Oh ya, boleh aku bertanya?" nada suaraku kembali seperti semula, aku merasa iba karna terus menertawakan nasibnya yang kepergok sedang memikirkan diriku. Lelaki itu menoleh ke arahku, alisnya terangkat yang menandakan jawaban 'iya'.

Aku menghirup nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya "sebagai pakar astronomi.. Apa kamu bisa beri aku di mana alien berada?" tanya ku dengan menekan pada kalimat pakar astronomi. Pertanyaan yang bodoh, tapi aku penasaran.

Atlas tegelak mendengar pertanyaanku "ku pikir kamu akan bertanya serius,"

"Tunggu, tadi kamu bilang pakar astronomi? Apa tidak salah.." lanjutnya sembari terkekeh, aku mengangguk sebagai jawaban. Biarkan sajalah, walaupun dia bukan pakar astronomi tapi dia memang pantas di sebut pakar jika di bandingkan diriku.

"Alien itu tidak ada.. Tapi makhluk selain manusia memang ada"

Aku berusaha mencerna ucapannya "jadi.. Peri dan unicorn yang kamu maksud itu benar-benar ada?"

"Tergantung, kamu percaya atau tidak"

•••

Pukul setengah sepuluh malam, alunan musik masih terdengar di telingaku. Mengalir dengan tenang di iringi bunyi rintik hujan yang mulai mereda, setelah selesai makan malam Atlas mengajakku untuk ke ruang tengah--lebih tepatnya ruang televisi.

Kaset hitam berbentuk lingkaran besar masih terus berputar di sebuah box berwarna coklat keemasan. Aku memejamkan mata ketika suara itu makin terdengar jelas di telingaku, aku terlalu hanyut menikmati alunan musik hingga tanpa sadar Atlas menaruh dagu nya di atas pundakku dari belakang.

Sontak aku membuka mata lebar-lebar ketika merasakan gelenyar aneh di sekujur tubuhku juga detak jantungku yang tiba-tiba ingin meloncat dari tempat persemayamannya.

Atlas, dia kenapa?

Aku menolehkan kepalaku sedikit dan memandang dirinya, lelaki itu memejamkan matanya seolah sedang menikmati musik dengan tenang sepertiku tadi--sesaat sebelum jantungku berdetak tak karuan.

Wajahnya yang tenang begitu terlihat damai, aku tidak tau banyak hal tentang dirinya. Tentang latar belakangnya, atau tentang--apakah dia punya masalah atau tidak?. Atlas tidak pernah bercerita padaku tentang bagaimana hidupnya, dia hanya bilang kalau hari-harinya hanya di habiskan di taman rahasia.

Apa dia punya masalah di rumahnya sehingga lebih memilih untuk tinggal di rumah pohon sepanjang matahari beroperasi? Aku tidak tau masalah apa yang ia pendam, apakah masalah yang lebih besar dari permasalahan ku--yang hanya hidup sebatang kara dan terus menerus di teror oleh surat misterius yang terus berdatangan tanpa henti--sebab aku terus menerus merasakan bahwa lelaki itu tengah menyimpan segudang masalah besar di lubuk hatinya, bahkan saat pertama kali kami bertemu anak itu terlalu pelit untuk memberi tau namanya--bahkan nama saja ia harus merahasiakannnya dariku.

Aku merasa semuanya terlalu tidak adil, sebagai teman harusnya kita saling mengetahui satu sama lain, bukan?

Apa pembicaraan tentang 'pergi' waktu itu yang membuatnya tidak mau memberi tau ku terlalu dalam tentang dirinya, karna takut aku akan merasa sangat kehilangan?

Kehilangan

Kata kedua yang aku benci setelah pergi.

Azura 💽 

Universe SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang