Kalingga menunduk lalu menggeleng, "Belum, Bu, kayaknya emang udah gak ada harapan."
Bu Tiya, selaku ibu panti menggeleng. "Hei, jangan pikir gitu, nak. Adik-adik panti, ibu sampe bapak tiap hari doain mama Lingga. Walaupun nak Lingga pikir gak ada harapan, ibu yakin, mama Lingga ada di suatu tempat yang baik." Ujar ibu panti itu dengan lembut.
Bahu pemuda itu tiba-tiba bergetar kecil ditengah menundukkan kepalanya.
"Eh, Lingga," ujar Sheana yang melihatnya lebih dulu.
"Eh, tong, Lo nangis?" Ini Anan yang berbicara.
Ibu Tiya mendekat pada Kalingga, ia memeluk pemuda itu dalam dekapannya begitu erat. Melihat kawan-kawan Kalingga kebingungan, Bu Tiya langsung tersenyum.
"Nak Lingga akhirnya punya temen, ya? Kali ini beneran temen, ya?" Tanya ibu Tiya begitu lembut membuat Kalingga semakin menangis.
Abigail yang melihat suasananya tiba-tiba menjadi sendu kemudian membuka suara.
"Hehe, iya, Bu. Kalingga temen kita."
Bu Tiya terlihat semakin sumringah.
"Lingga, ibu bangga banget sama kamu." Bu Tiya mengelus pundak Kalingga yang enggan menampakkan wajah menangisnya. Ia seperti seorang bayi yang tengah dimomong oleh ibunya sekarang.
"Kalingga ini anak baik, tapi temen-temennya selalu aja anggap Lingga galak lah, nakal lah. Iya sih emang nakal, tapi sebenarnya nak Lingga ini takut kehilangan seseorang."
Semuanya langsung terhanyut dengan cerita bu Tiya. Pasalnya, Kalingga yang mereka tahu memang sosok yang ceplas-ceplos dan tidak tahu diri, kini terlihat sangat bertimbal balik.
"Hm, maaf Lingga, maaf Bu Tiya, karena kita baru temenan sama Lingga, kita gak tau apa yang terjadi sama Lingga-"
"Jesi, temenin kakak main dong!" Kalingga langsung melepas pelukan Bu Tiya. Ia bangkit buru-buru menemui Jesi yang sibuk bermain boneka. Pemuda itu terlalu malu berada di depan kawan-kawannya.
"Loh kak Lingga nangis lagi? Ayo sini, Jesi obatin!" Lingga tersenyum lalu menerima tarikan tangan yang Jesi berikan, juga menuruti ke mana gadis kecil berumur 5 tahun itu melangkah.
Bu Tiya terkekeh geli, "anaknya malu itu."
"Haha gak papa, Bu, kayaknya gak enak juga tanya langsung di depan Kalingga nya."
Bu Tiya tersenyum pada Nabiru yang bertanya.
"Nak Lingga itu dulu semuanya ditemenin, tapi sayangnya kalau ke sini, ibu pasti temuin anaknya udah ada luka di muka atau badannya. Kayaknya temennya dulu sering jahatin dia, hati ibu sakit liatnya. Nak Lingga itu kesayangan orang tuanya, papanya selalu khawatir berlebihan dan nak Lingga gak suka itu,"
"Kita juga awalnya gak tau, Bu. Kita kira Kalingga emang orangnya berani gitu, tapi gak tau kalau dia emang suka ceplas-ceplos ke semua orang."
"Apalagi dia incar pacar saya, Bu." Cerocos Hilmy kemudian yang langsung dipukul pelan oleh Sheana.
Ibu Tiya tertawa lagi. "Kalau nak Lingga udah bawa kalian ke sini, artinya Kalingga udah percaya sama kalian."
"Emang sebelumnya gimana, Bu?" Tanya Natta penasaran.
"Sebelumnya, Kalingga cuma cerita kalau dia dapat temen baru. Sekarang, Lingga gak pernah cerita ke ibu. Ibu kira dia udah nyerah, tau-taunya dia bawa cewek cowok cantik ganteng ke sini." Semuanya tersipu malu.
"Ini, Bu, minumnya." Tiara yang paling tua di sana menyajikan beberapa minuman untuk teman-teman Kalingga.
"Makasih," ujar Anan lebih dulu.
"Sama-sama kak..." Tiara langsung pamit dan berlari kecil, dia malu.
"Hm, mama Kalingga hilang 12 tahun yang lalu, katanya mereka pergi buat mancing di danau. Gak lama mama Lingga izin ke toilet sebentar tapi tidak kembali juga, jadi Lingga yang masih kecil pas itu nyusul ke toilet. Naasnya, Lingga kecil liat mamanya dibekap sama orang-orang jahat pas itu. Kalingga masih kecil, dia cuma bisa nangis di pelukan papanya...
... Semakin dewasa Kalingga semakin paham, dan pas dia umur 12 tahun, dia datang temuin ibu di sini. Kalingga minta ibu sama bapak berdoa bareng anak-anak panti biar mamanya ketemu. Katanya, papa lingga juga udah usaha sampai benar-benar udah nyerah, tapi nak Lingga gak pernah gitu, Kalingga masih percaya kalau mamanya masih hidup."
Semuanya hanya terdiam mendengar cerita itu.
"Mama Lingga nggak pernah berkabar?" Tanya Sheana kemudian.
Bu Tiya tersenyum tipis lalu menggeleng, "sayangnya, kita juga sudah berpikir kalau semuanya tidak ada harapan lagi... 12 tahun itu bukan waktu yang sebentar, dan kalau mama Lingga benar-benar sudah tidak ada, ibu sama yang lain cuma berharap sosoknya ada di antara bintang malam di langit dan mama Lingga gak perlu merasa ketakukan lagi..." Jelasnya kemudian.
Abigail mengeratkan kepalan tangannya yang berada di atas lututnya, "Maaf, Bu, saya permisi bentar." Lalu, gadis itu berdiri lebih dulu dan melipir ke suatu tempat.
Anan yang paham lekas ikut berdiri dan mengejar Abigail, sebelum itu, ia juga sudah izin.
Anan memelankan langkahnya saat ia mendengar suara isakan berat di taman belakang panti. Pemuda itu tau kalau Abigail sedang menangis, dan saat itu juga muncul keraguan dibenak Anan sebelum benar-benar menghampiri gadisnya itu.
Anan berdehem lantas ikut mendudukkan dirinya di samping Abigail. Ia membuka jaketnya menutup jarak antara dirinya dan Abigail seperti terhalang sebuah tirai.
Lalu, Anan berkata dengan lembut, "nangis aja, gak akan ada yang liat. Aku juga gak bakal liat."
Abigail terdiam sebentar melirik ke arah sampingnya yang kini menampilkan jaket Anan yang tertutup sempurna antara dirinya dan pemuda itu. Lalu, tangis Abigail berubah menjadi semakin kencang.
Gadis itu menangis selama satu menit lamanya, dan lambat laun, tak ada lagi suara isakan yang Anan dengar. Namun, pemuda itu tetap tak ingin membuka suara.
"Aku kira," Abigail membuka suara lebih dulu.
Anan pelan-pelan menurunkan jaketnya dan kini menatap Abigail yang wajahnya sudah memerah akibat menangis.
"Kalingga beneran senakal itu... Awal kita ketemu, aku gak suka sama sifatnya, dan sampai akhir pun aku tetep gak suka,"
Anan masih setia mendengarkan Abigail berbicara. Maniknya tak lepas menatap gadis itu yang enggan menatapnya balik.
"Maaf, aku nangisin cowok itu... Aku ngerasa kalau merasa kasihan ke dia tuh salah, tapi, Nan," dan saat akan melanjutkan diksinya, Abigail menatap Anan balik. "Kayaknya sosok Kalingga itu cuma terluka..." Jelasnya kemudian.
Anan merangkul pundak Abigail sesaat setelahnya, ia tersenyum membiarkan gadis itu mendekapnya dalam. Ia juga merasakan hal yang sama, entah kenapa, setiap perasaan yang Abigail miliki, dirinya ikut merasakannya juga.
Anan tidak marah perihal Abigail yang menangisi sosok lain, karena benar adanya kalau cerita tentang Kalingga tadi ikut menyayat hatinya. Apalagi untuk seorang Abigail yang mudah terluka. Anan tak bisa mengabaikannya, juga, karena rasa cemburunya selalu berubah menjadi rasa empati dalam hal hubungan. Anan tak bisa berbuat apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Journey Of Us
Hayran KurguKisah melankolis para remaja sekolah menengah yang merasakan pahit, asam, manis-nya kehidupan dengan hati yang bergejolak bermekaran saat musim bersemi. Written by @lavidamys