7. Party, Trouble, and Us

1.7K 222 27
                                    

〔༻ 🌌 ༺〕

Malam ini, Jeco dan Karin datang ke rumah tantenya Karin untuk menghadiri acara syukuran atas kelahiran anak ketiga tantenya. Mobil Jeco terparkir di suatu halaman rumah di kawasan perumahan elite. Bersama dengan Karin, Jeco lalu keluar dari mobil sembari menenteng paper bag besar berlogo suatu toko perlengkapan bayi yang dia ambil dari jok belakang.

"Tante, selamat ya!" Karin berseru seraya memeluk tantenya.

Jeco menyodorkan paper bag. "Ini ada sedikit hadiah dari kita buat adek bayinya, Tante."

Tante menerimanya dengan raut wajah kaget. "Sedikit dari mana? Ini mah banyak banget," ujarnya, "kan udah Tante bilang nggak usah repot-repot."

Jeco cuma terkekeh. "Itu udah sedikit kok, Tante, kalau tadi nggak aku ingetin Karin hampir beli satu toko."

"Ya, abis lucu-lucu semua, aku jadi bingung milihnya," kata Karin membela diri.

Tante ikut terkekeh. "Ya udah, makasih banyak ya."

Lirikan mata Karin mengarah pada manusia mungil di keranjang bayi. "Tante, aku boleh gendong bayinya?"

"Boleh dong. Kebetulan udah bangun tidur tuh."

Pelan-pelan Karin mengangkat bayi itu ke dalam dekapannya. Melihat mata kecil bayi itu menatapnya, Karin tersenyum tulus. "Kecil banget ya, Je."

Jeco mengelus-elus pipi merah bayi itu dengan telunjuknya. "Iya."

"Lihat, bahkan gedean tangan kamu daripada kepalanya," kekeh Karin, menyadari perbedaan ukuran kepala si bayi dan kepalan tangan Jeco.

Melihat pemandangan pasangan suami istri muda di hadapannya, sang Tante berkomentar, "Ayo, kalian kapan nyusul? Udah cocok banget loh punya momongan."

Karin dan Jeco bertukar padang sebentar kemudian tertawa canggung. Setiap datang ke acara keluarga kalimat-kalimat seperti itu pasti selalu datang menghampiri mereka. Terlebih mamanya Karin, wanita paruh baya yang kini menduduki kursi di meja yang sama dengan Karin dan Jeco.

Karin dan Jeco baru selesai makan, acara makan-makannya di halaman belakang rumah. Tepatnya di meja-meja yang disediakan di pinggir kolam renang.

"Mama," sapa Karin.

"Ma, apa kabar?" Jeco ikut menyapa.

"Baik. Kalian apa kabar? Sibuk banget ya kalian berdua sampe jarang nemuin Mama."

"Kita baik juga kok, Ma," Karin menyahut, "cuma ya ... emang akhir-akhir ini lagi sibuk jadi belum ada waktu buat main ke Mama."

Mama menepuk pelan lengan Karin. "Gimana, kamu udah ngisi?"

Karin menggeleng pelan, membuat sang mama mengerutkan kening, "Belum juga? Kamu sama Jeco sehat, kan?"

"Bukan karena itu, Ma," sanggah Karin, berusaha menjawabnya dengan tenang, "akunya yang belum mau."

"Jangan begitu dong, Rin. Mau punya anak atau nggak itu kan bukan keputusan kamu aja, Jeco juga. Masa Jeco harus ngikut keputusan kamu terus?"

Kali ini Jeco yang menanggapi, "Aku gapapa kok, Ma. Tergantung Karin aja siapnya kapan."

Sang Mama menghela napas panjang sembari memandang putrinya dan menantunya. "Kami para orang tua menjodohkan kalian itu bukan hanya untuk menikah, tapi untuk membangun keluarga baru, memiliki keturunan. Emang kalian mau berdua doang sampai tua? Cobalah, dibicarain lagi, umur pernikahan kalian kan udah mau setengah tahun."

Perjalanan pulang dari rumah tantenya Karin menuju apartemen mereka begitu hening. Karin maupun Jeco tidak ada yang membuka suara, hanya ada lantunan lagu di speaker mobil yang mengisi keheningan antara keduanya. Sebenarnya yang selalu mengawali pembicaraan adalah Karin sedangkan Jeco memang lebih banyak diam. Namun, kali ini wanita itu juga hanya terdiam sambil menatap jendela mobil.

520 | aedreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang