Setibanya mereka di Ruang Kesehatan, kebetulan sepi—petugas PMR sedang tidak di tempat. Alan mendudukkan Dimas di kasur, sedangkan Alan sibuk mencari obat P3K serta kapas. Perhatian Alan membuat Dimas termenung, matanya tetap mengikuti kemanapun pemuda manis itu pergi. Alan tak menyadari jika dirinya tengah diperhatikan. Kedua tangannya bergerak cepat—menyusuri setiap kotak yang berisi keperluan yang dibutuhkan. Setelah dapat, Alan bergegas ke arah Dimas.
Alan memperingati Dimas lewat matanya, "Diem, gak usah banyak gerak." Dimas mengangguk.
Dengan teliti Alan membersihkan semua noda darah yang bertengger di kening, pipi, dan di sudut bibir Dimas. Jantungnya berdegup kencang. Harap-harap cemas. Sekali lagi Dimas memperhatikan Alan yang gelisah.
"Lo keringatan. Apa lo sakit?" Tanpa permisi tangan kanannya mengelap keringat di pelipis Alan. Namun, aksinya ketahuan dan Alan menepis.
"Apaan sih, gak usah modus deh!" Alan tak lagi mempedulikan Dimas yang bertingkah konyol. Fokusnya saat ini memberikan betadine ke luka yang telah dibersihkan. Setelah itu Alan mendongak dan bertanya, "Sakit gak?" tampak Alan khawatir.
Dimas menatap Alan dan kini kedua bola matanya beradu dengan mata cokelat yang mempesona. Alan akui jika dari dekat, Dimas terlihat tampan dengan alis seperti pedang, mata hitam yang pekat mampu membuatnya tersihir, hidung mancung dan bibirnya yang seksi.
Ketampanannya berkali lipat dengan rambut yang tidak rapi serta baju yang sudah tidak pada tempatnya. Rona merah timbul di permukaan, dan Alan membuang muka. Tetapi, dagunya ditahan oleh jari yang kuat. Seketika mata Alan melebar.
Dimas mencondongkan tubuhnya ke depan, berbisik ke telinga Alan, "Kalau lo cium gue, pasti langsung sembuh kok lukanya."
Mendengar ini, Alan tak segan lagi, ia bergegas memukul kepala Dimas. "Ogah! Mending gue cium Riza ajah deh. Udah mah anaknya lucu mana imut dan menggemaskan lagi." Pikirannya melalang buana—matanya berbinar kala dirinya membayangkan Riza yang ia cium.
Tamparan sadis menyapu pipi lembutnya, tak terima di-bully. Alan pun membalas perbuatan Dimas dengan cara menjambak rambutnya sampai rontok! Aksi tarik-menarik pun tak terelakan, keduanya tak ada yang mau mengalah. Tingkah mereka seperti anak kecil. Bulan sabit tercipta di antara bibir. Dimas meringis. Kini wajah tampannya sedang dianiaya.
"Aduh. Sakit, Lan!" ujarnya lirih. Alan menyudahi perkelahian tak berarti. Sekarang ia panik luar biasa.
"Duh gimana nih. Darahnya makin banyak lagi. Huwa, gu–gue gak sengaja. Suruh siapa lo mulai duluan!" Mata Alan berkaca-kaca, ia merasa bersalah dan mulai menitikkan air mata. Dimas kaget dan langsung menarik Alan ke pelukannya—menenangkannya dengan tepukan.
"Cup-cup. Gue gak apa kok. Jangan nangis lagi ya. Gue gak punya permen, gimana kalau lo emut permen gue ajah?"
Alan merasa aneh dengan perkataan Dimas. Belum lagi pelukan yang begitu intim, saat ini Alan tengah dipangku dan ditenangkan. Setelah mencerna semuanya, Alan terperangah dengan virus yang Dimas sebarkan. Segera ia menjadi paranoid.
Otak lambatnya menstimulasi perkataan berulang yang Dimas katakan seperti; emut permen gue aja. Seketika wajah Alan merona. Segera ia menjitak kepala Dimas dan menjauhkan dirinya dari bahaya.
"Dasar cowok sialan! Emang kampret ya lo Dim! Ah ... gue udah gak suci lagi. Huwa... gue benci banget sama lo!" serunya heboh dan berlalu pergi—meninggalkan Dimas sendirian dengan wajah tanpa dosa.
Dalam hati, Dimas tertawa lepas, melihat Alan yang super lucu membuatnya semakin tertarik untuk menggodanya lebih jauh lagi. Mungkin saja Alan akan masuk ke dalam jebakan yang telah ia buat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cute Boyfriend
Novela Juvenil[TAHAP REVISI] Sebuah kisah tentang anak remaja yang terjerat dalam asmaraloka yang berakhir dengan kenyamanan. Dipertemukan dalam sebuah permainan sepihak antar teman, dan dipaksa menjalin hubungan. Lambat laun, rasa di antara mereka akhirnya menya...