Backburner

175 7 3
                                    

"I'm 1/4 from comunication degree! Came on Gimme congratulation kiss now."
.
Kemeja putih Bianca tak lagi rapi di badannya ketika gue menoleh.Bleser yang semula memeluknya kini  sudah tersampir di pundak. Rambut ikalnya juga sudah terurai. Menggelitik lidah gue untuk memanggilnya singa. Dia baru saja selesai dengan ujian proposal ketika gue bahkan belum menentukan Judul.

."Jokiin skripsi gue dong. Jahat bangat lu ama temen sendiri. Lu nge jokiin Skripsi 2 orang sekaligus tapi gue, lu nggk mau bantuin. Lu temen gue bukan si." Gue menyodorkan sebuket bunga hydrangea, sebagai ganti ucapan selamat yang tak keluar dari mulut gue.

"Justru karena lu temen gue. Makanya gue nggk mau ngejokiin skripsi lu. Gue nggak mau punya teman yang bego! Badan lu boleh kecil Gley, Otak lu jangan. Otak.ko kecil, itu otak apa tititnya Bayu?"

"Sialan lu!"

Sungguh kalimat dari mulut Bianca selalu berhasil mengotori wajahnya yang cantik. Membuat gue bertanya-tanya, apa jurusan yang dia ambil selama ini adalah Ilmu komunikasi kotor?

Dia tertawa banyak, dan gue tertawa pelit. Tangannya lalu merogoh sesuatu di saku almamater sebelum ahirnya mengeluarkan sebungkus Jelly Rasa berry yang ditaru di tangan Gue. "Nih upah gue abis nyepong."

"Ihh hasil Haram. Nggak mau ah"

"Justru lu harus mengapresiasi upaya gue yang rela kerja haram buat kasi lu makan."

"Hahah berasa punya mama pelacur gue."

Melihat tampilannya yang slengean, orang-orang tidak akan menduga Bianca adalah anak Akselarasi. Meski gue berada di tingkat semester yang sama, dia setahun lebih muda dari gue.

Bagi sebagian orang, dia hanya seorang mahasiswa berwajah cantik yang aktif, bagi adek tingkat Bianca adalah cewek cool yang suka tebar pesona kalau lagi main basket, bagi kaka tingkat Bianca adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kandidat putra putri Kampus, bagi teman se circlenya, Bianca adalah pelawak terkocak dan mungkin sedikit gila, bagi sebagian laki-laki mungkin Bianca adalah cewek terseksi yang ingin di tiduri, bagi sebagian lain she's a player. Tapi bagi gue, She is just Bian. Bian yang nggk bisa gue deskripsikan dalam satu kalimat.

"Ngebakso yuk Gley.. laper ni gue. Belum ada yang masuk ke leher dari tadi malam kecuali sperma."

Kadang-kadang gue heran sendiri Bian yang seperti itu bisa-bisanya jadi temen gue yang adalah orang seperti ini. I mean, she is such party girl while i'm a typical tuesday night.
Dia anak yang nongkrongnya di senopati ketika gue sukanya baca buku puisi di taman langsat bertemankan nyamuk. Dia suka lagu disco, gue suka lagu senja. Dia dan gue kayak mata uang beda sisi.

"Aduh sori gue nggk bisa nemenin lu. Gue harus nemuin pacar gue"

"Lu tu udah kayak ikan yang nggak di kasi air kalau nggak ketemu  Zara sehari aja ya?"

"She is just like my oxygen."

Bian Tau gue Bisexual.

***
"Aduh.. siapa si ganggu bangat!" Zara menarik paksa tangan gue yang tadinya menutup mata gadis itu. Lalu ketika dia tau itu gue, dia malah semakin kesal.

"Gleysi! Kamu kan tau aku lagi baca. Ko kamu malah nutup mataku si! Orang yang punya logika nggak bakal lakuin itu."

"Aku kan cuma mau kasi surprise."Gue baralih duduk di sampingnya.

"Ini bukan waktu yang tepat buat ngasi surprise. Dan yang tadi itu bukan surprise  tapi gangguin orang lagi belajar. Ngerti?"

Gue memandang Zara sambil bertopang Dagu. Mengingat lagi, orang ini adalah orang yang katanya mencintai gue. Tapi membuat gue merasa tidak layak di cintai.

Bagi gue, Zara Ibarat bintang yang ada di tempat bernama La Palma. Terlihat bisa di petik tapi nyatanya jauh.

Gue selalu suka mandangin dia yang serius membaca buku filsafat dan duduk di pedestrian seperti sekarang. Atau saat dia sedang menjelaskan sesuatu di podium kelas sebagai asisten Dosen. Atau berdebat masalah politik saat presentasi,  Atau saat dia menyetir dengan serius. Atau saat dia berbicara bahasa inggris dengan fasih. Dia membuat gue insekyur dan bersyukur pada saat yang sama. Bersyukur karena orang sekeren itu adalah pacar gue. Insekyur karena orang seperti gue punya pacar kayak dia.

Bibir gue hampir mendarat di pipinya kalau saja Zara tidak Spontan mundur dan memekik "What are you try to do!"

Gue ikut kaget tapi tak mengeluarkan kata apapun.

"Don't you try to kiss me? Lu gila! Ini kampus Gley! Gimana kalau ada orang yang lihat?" Ucapnya berbisik penuh penekanan.

"Tapi di sini sepi Zar. Nggak ada orang" gue meyakin kan dia setelah melihat sekeliling.

Zara adalah orang yang pertama bilamg suka ke gue di antara kita berdua. Tapi dia dengan tegas tak mau kalau orang-orang tau dia suka gue. Itu adalah fakta bagian dirinya yang kurang cantik.

"Tetep aja gue nggak suka lu kaya gitu. Jangan bawa hal private ke tempat umum. Lain kali kalau gini lagi gue nggak  bakal mau omongin lu."

Ketika dia nggak lagi mengunakan panggilan aku- kamu. Berarti Zara benar-benar sedang marah.

Gue mengerti. Dia sangat menjaga image positif nya di kampus. Mengingat dia punya jabatan yang menuntutnya untuk selalu terlihat sempurna.

"Iya maaf."

"Jangan di ulangin lagi."

Dia ingin terlihat sempurna untuk mata semua orang. Bukan cuma mata gue.

"Zar tau nggak? Tadi Bian bilang, katanya aku kalau nggak ketemu kamu sehari aja kayak ikan nggak di kasi air." Gue menopang dagu mandangin dia yang sedang kembali  memusatkan perhatian  pada bukunya. "Tapi kenapa ya, meskipun udah di kasi air, aku masi tetep ngerasa haus. Kayak ikan yang nggak tau lagi ada di dalam air."

"Hah? Gimana-gimana?" Zara menutup bukunya sebentar. "Coba deh Gley,  kamu itu kalau ngomong yang teratur jangan belibet.  Cara ngomong itu menggambarkan isi pikiran."

Gue nggak terlalu suka cara Zara memperlakukan gue. Tapi gue masi suka sama dia yang seperti itu. Kalau kata Bian gue itu "bulol" alias budak cinta tolol.

"Skripsi kamu udah sampai mana?"

"Belum sampai ke mana-mana."

Dia mendesah panjang. Matanya memancarkan kekecewaan. Seakan malu pada dunia kalau dia punya orang sepertiku di sisinya.

"Hellow girls, apakah saya menganggu obrolan kalian?"

Pak Radit, adalah dosen ilmu sosial yang menjadikan Zara sebagai asistennya. Pria dengan rambut klimis itu baru berumur 32 tahun dan menjadi incaran anak cewe untuk di jadikan suami idaman.

"Enggak pak." Jawab Zara.

"Gini, saya mau minjem Zara sebentar untuk diskusiin satu hal. Boleh kan. Boleh ya Gleysi?"

"Ya saya nggak mungkin bangat bilang nggak boleh lah pak."

Zara melirik gue tajam.

"Yaudah kalau gitu ayo Zar."

Sepuluh langka dari kursi pedestrian   tempat gue duduk, gue bisa melihat pak Radit merangkul pinggang Zara. Semua gadis pasti sakit hati karena pa Radit,tapi gue sakit hati karena Zara.

Demi menyembunyikan kenyataan kalau dia suka cewe, Zara memilih berpacaran juga dengan pak Radit.  Zara sangat sukses membangun image yang baik.

Gue kecewa, tapi selama gue masi bisa di panggil sayang olehnya, selama dia masi mikirin gue, selama gue masi bisa ngobrol sama dia, gue nggak apa-apa dengan itu.

Sungguh pathetic.

Bodoh yang sebenarnya.

Jangan-jangan Bianca benar, otak gue sekecil titit Bayu.

■■□□♤■■□□
.

Attantion cerita inu bakal penuh quote patetic cringe and lagu juicy luicy











AnaheimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang