Keesokan Harinya
Mata yang tertutup perlahan terbuka. Sinar mentari menyorot tajam ke pemuda yang tengah terbaring, dengan lesu ia bangun. Ekor matanya tak menangkap sosok yang dicari. Atensinya sudah menghilang dari pandangan.
"Apa dia pulang semalam?"
Seketika pipinya merona, kembali mengingat aktivitas kemarin yang sangat panas. Kala ia bergerak, tubuh bagian bawahnya terasa nyeri dan kedua kakinya bergetar. Dengan berpegangan ke sisi meja ia berjalan ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Setelah usai, ia mengenakan seragam sekolah. Lalu, tangan yang lainnya merapikan buku tulis dan pasukannya ke dalam tas.
Dering ponsel berbunyi. Satu nama tercetak jelas di layar ponsel. Pemuda manis itu tersenyum lebar. Ia menekan tombol hijau dan suara sang kekasih menyapanya dengan lembut.
"Good Morning, beb."
"Morning too. Tadi malam kamu pulang jam berapa?"
"Oh. jam 7 kayaknya. Kenapa beb? Pasti nyariin aku ya hehe."
Pemuda manis itu mengelak. Tanpa tahu pipinya sudah semerah tomat. "Enggak tuh."
Sang kekasih terkekeh. "Kamu udah siap belom?"
"Hm udah. Siap mau kemana?"
"Berangkat ke sekolah atuh. Btw kamu keluar ya. Aku tunggu di depan rumah kamu nih."
Hah?! jadi dia telepon tuh karena ini?
Pemuda manis itu keluar sambil menenteng tas ranselnya dan keluar kamar dan membuka pintu gerbang. Di seberang jalan, tampak sesosok pemuda berparas tampan tengah duduk di atas motornya sambil tersenyum dan menatapnya dengan mata yang penuh kasih sayang, tidak lupa ia melambaikan tangan.
Pemuda manis itu mendekat dan keduanya berkendara jauh dari perumahan menuju sekolah.
.
.
.Sesampainya mereka di area sekolah. Sepasang insan berjalan bergandengan tangan. Riza si pemalu dan Alan yang super cuek tapi keren. Tatapan para murid yang lewat tak mereka hiraukan. Jalan terus sampai di tengah koridor mereka bertemu dengan preman sekolah—Dimas datang tanpa adanya angin dan saat ini pemuda liar itu sedang menatap Alan dengan mata yang tajam.
Pergerakan Alan terhenti, setiap ia melangkah ke jalan lain, Dimas akan menghalangi dan membayanginya kek hantu yang kurang kerjaan.
"Minggir gue mau lewat!"
Dimas tak merespons. Bergeming layaknya patung. Di sebelah kanan, Riza tak berani menatap Dimas. Karena ia tahu bahwa sosok pemuda di depannya sangat berbahaya.
Riza berlindung di belakang Alan. Mendapat gerakan dari sang kekasih tentu saja Alan melindunginya. Interaksi mereka tertangkap jelas di penglihatan Dimas. Serbuk api meledak di kedalaman mata yang gelap. Alan mengabaikan atensi Dimas yang sudah keluar tanduk.
Sekali lagi Alan bergerak ke sisi lain, tetapi Dimas menjebaknya di antara dinding. Mereka berdua terpojok. Alan mulai jengah, ia melototi Dimas dengan galak. Pemuda liar itu tak bergerak, kedua bola matanya tetap fokus ke arah Alan.
Kala Alan dan Dimas bermain mata. Riza menarik baju Alan, dan sang empunya menoleh. Wajah pemuda manis itu sudah pucat, Alan pun tak tega. Jadi ia menenangkannya.
"Sayang, kamu ke kelas duluan ya. Ntar aku nyusul." Alan mencium dahi kekasihnya dengan lembut.
Riza mengangguk, ia melepaskan tangannya dan berjalan ke samping—menghindari tatapan Dimas yang tajam. Setelah itu, tersisa dua makhluk beda rupa di koridor sepi.
"Lo budeg apa tuli? Gue bilang Minggir!" Alan mendorong Dimas, tetapi tangannya langsung dicengkeram. Alan mengerutkan dahi.
Ini human maunya apa sih? Pagi-pagi dah buat mood gue hancur aja!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cute Boyfriend
Teen Fiction[TAHAP REVISI] Sebuah kisah tentang anak remaja yang terjerat dalam asmaraloka yang berakhir dengan kenyamanan. Dipertemukan dalam sebuah permainan sepihak antar teman, dan dipaksa menjalin hubungan. Lambat laun, rasa di antara mereka akhirnya menya...