Alan dan Dimas berada di Gazebo, setelah ketahuan mengintip orang berpacaran, Alan dibawa pergi ke sebuah hutan di belakang sekolah. Ada sebuah Villa dengan pemandangan indah berdiri di sana. Alan yang malu tidak menatap Dimas. Padahal saat ini Dimas sedang memperhatikan gerak-geriknya.
"Gak usah malu gitu lah, kita berdua sama-sama mau kok," ucapnya santai.
Mendengar ini, Alan melotot padanya. Ia melangkah maju dan ingin meninju mulut Dimas yang asal itu, tetapi tangannya sudah ditahan sebelum ia beraksi. Posisi mereka kini berhadapan dengan Alan yang duduk di pangkuan Dimas.
"Lepas ih, dasar modus!" ucapnya sengit. Ia mengalihkan pandangan ke tempat lain. Dimas menangkup dagu Alan dan menempelkan kening mereka. Dengan lembut ia mengusap wajah Alan.
Seketika matanya tertutup. Dalam hati Alan mengutuk, "Kenapa gue terlena. Kan Asu!
Dimas berbisik, "See, tubuh lo malah nyaman kalau gue sentuh." Embusan napasnya membuat bulu kuduk Alan merinding.
"Bangsat! Lepasin! Gue mau ke kelas." Alan memberontak. Namun, si setan ini memeluknya dengan erat.
"Biar dulu seperti ini, gue suka aroma tubuh lo. Gue juga suka bibir lo yang manis, dan you're mine." ucapnya seenak jidat. Tanpa permisi, ia mengecup bibir Alan, tetapi tak jadi karena Alan membuang muka. Pipinya memanas seperti kepiting rebus.
Alan berteriak dengan keras. "Ahhhhhhh.... bibir gue ternodai!"
Dimas membekap mulut Alan dan ia langsung melumat bibir alan dengan santainya. Alan tersipu. Ia akui kalau dirinya suka kalau Dimas menyentuhnya. Alan tak melawan, pasrah dengan keadaan.
Diam-diam ia menikmati sentuhan lembut yang Dimas berikan. Ciuman liar pun terlepas saat keduanya kehabisan napas. Alan lelah, ia merasa tenaganya terbuang percuma.
Kepalanya pusing jadi ia biarkan bersandar di dada bidang Dimas. Matanya juga mengantuk dan ia pun tertidur. Tak ada tanggapan darinya membuat Dimas lekas menunduk. Ternyata sang empu sudah kelelahan. Dimas menggendong Alan ala brydal syle dan kaki panjangnya menuju markas di tengah hutan.
Didit yang melihat bos-nya membawa orang lain pun terkejut. Sungguh di luar akal sehat. Yang ia tahu kalau bos-nya itu berhati dingin dan tak kenal ampun kepada siapapun. Tapi kali ini, semua persepsi-nya tentangnya lenyap begitu saja.
Berkomunikasi lewat tatapan, Didit membuka pintu Villa. Dengan gesit Dimas membawa Alan ke lantai atas dan membaringkan tubuhnya ke kasur, setelah itu ia menyelimutinya dan memeluknya dari belakang.
***
Tak lama, Alan bangun, matanya setengah sadar, saat ia bergerak tentu menyadari kalau ada tangan seseorang yang melingkar di pinggangnya. Ketika Alan menengok ke samping, ia pun terkejut, Tangan besi itu ternyata milik Dimas, pelaku tak tak malu itu tengah tidur dan wajah mereka hampir bersentuhan.
Deg... deg... deg....
Air muka Alan berubah-ubah seperti bunglon yang menyamarkan warna. Mukanya putih seketika merona. Ia menarik napasnya dan bergumam, Anjir, jantung gue kenapa pada disko gini sih! Ahhhhhh tidak mungkin!
Semakin dilihat, semakin mempesona. Kalau dari dekat nih orag ganteng juga apalagi saat bibir sialan itu menggodanya. Entah kenapa ia merasa ketagihan.
Alan tersenyum konyol, memikirkan insiden tadi. Sungguh aneh dan tak biasa. Mereka berdua berjenis sama, tetapi kenapa rasanya nano-nano ya?
Alan menggelengkan kepalanya, ia tam boleh goyah dengan sikap Dimas yang terlalu manis. Dengan cepat ia menghapus bayangan tak jelas itu. Mungkin saat ini ia sudah gila.
Perlahan, Alan bangun dan ia turun dari kasur, dengan langkah ringan ia berhasil keluar dari cengkeraman pemuda liar itu. Ia sangat berhati-hati biar tak ketahuan. Sebelum pergi, Alan sempat memandangi wajah Dimas yang super polos beda sekali kalau saat berhadapan dengannya pasti Alan selalu kalah. Sial!
Tanpa sadar mulutnya berkicau. "Lo bikin gue gila, Dim. Apa gue mulai suka ya sama lo? Tapi sudah terlambat kan? Ada hati yang harus gue jaga. Sorry to say, Makasih untuk semuanya. Dan satu lagi, gue bukan milik lo, tetapi milik orang lain."
Setelah berkata seperti itu, Alan berlalu pergi, tanpa ia sadari, Dimas sudah membuka matanya. Semua perkataan Alan terdengar cukup jelas. Gelapnya malam tak sebanding dengan mata hitam pekatnya.
Ketika Alan keluar dari kamar, pernapasan sesaknya kembali normal. Sungguh sial jika berlama-lama di ruangan yang sama dengan Dimas. Seperti tidak ada tempat lain untuk bernapas. Tetapi ia berhasil melarikan diri.
Tiba-tiba saja di bawah tangga, ia terkejut dan dikagetkan dengan kedatangan Didit yang muncul di depan mata. Dengan sengit Alan memaki, "Setan lo, untung nyawa gue banyak!" Alan mengelus dadanya.
Sedangkan pelaku yang membuatnya hampir melompat malah tertawa.
"Gue juga kaget tau, btw mau ke mana lo? Ngendap-ngendap kek maling aja. Oh iya si Bos udah bangun apa belom?" tanya Didit beruntun.
Alan pusing mendengarkan pertanyaan panjangnya, mana suaranya kek toa masjid. Ia anggap saja suara Didit angin lalu.
"Gue mau pulang. Dah Minggir! Oh iya kalau Bos lo tanya gue kemana, bilang ajah gue ke Nirwana . bye!"
Alan mendorong Didit, dan ia melengos pergi tanpa menoleh ke belakang. Didit terdiam sambil memperhatikan punggung Alan yang sudah menjauh dari pandangan.
Didit mengerutkan dahi, bingung sekaligus tak mengerti. Setelah dipikirkan tidak masuk ke otaknya. Didit pun pergi ke dari sana.
***
Setelah keluar dari hutan, untung saja ia tak tersesat. Rupanya ada jalan setapak yang sengaja dibuat untuk pejalan kaki dan bisa juga dipakai untuk pengendara motor. Sepanjang jalan menuju sekolah, Alan memegang bibirnya, bayangan Dimas yang mencuri ciuman pertamanya masih terngiang-ngiang.
Alan menggelengkan kepalanya.
"Gak boleh kek gini! Gue harus sadar! Dan gue juga harus menghindar dari Dimas, itu orang berbahaya sekali. Jika gue terus berurusan dengannya, bisa-bisa gue diterkam lagi. Big No!"
Tak terasa jalan setapak yang ia lewati sudah berubah dengan area belakang sekolah. Alan memasuki pintu, dan ia berjalan di koridor dengan linglung dan tak menyadari jika ada seseorang yang mengikutinya dari belakang, dan ia merangkul pundak Alan tanpa permisi.
"Siapa yang diterkam?"
Alan tersentak saat tahu perkataannya disela oleh orang lain. Segera ia menampar orang itu.
"Ngagetin gue aja lu dugong!"
Pelaku tak sopan itu bernama Diki. "Apa salah dan dosaku sayang!"
Alan mencibir, "Salah sendiri!"
Alan mengabaikan Diki dan kakinya terus berjalan. Sedangkan Diki mensejajarkan langkahnya.
"Darimana aja lo, Lan?" tanyanya.
"Dari depan ke belakang." Alan membalasnya dengan asal-asalan. Sungguh malas jika menjawab panjang lebar.
Melihatnya kesal, Diki cekikikan. Dengan gemas Diki mencubit pipi Alan yang chubby.
"Lucu juga lo. Jadi pengen cipok," ucapnya blak-blakkan. Ia sudah memajukan wajahnya dan bersiap untuk menyentuh bibir merah Alan.
Mendapat serangan tak terduga, Alan menggampar wajahnya, tidak lupa tatapan horornya tertuju ke arah Diki.
"Shit! Perkataan lo bahaya sekali. Sebelum lo cipok gue. Yang ada lo kena batu hantam duluan. Bye!"
Alan pergi dengan cepat, dan tak mempedulikan teriakan Diki yang memanggilnya untuk berhenti.
Ia pun mengutuk, "Kenapa yang dekat sama gue gesrek semua? Ini pasti kutukan. Gue harus jauh-jauh dari mereka."
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cute Boyfriend
Teen Fiction[TAHAP REVISI] Sebuah kisah tentang anak remaja yang terjerat dalam asmaraloka yang berakhir dengan kenyamanan. Dipertemukan dalam sebuah permainan sepihak antar teman, dan dipaksa menjalin hubungan. Lambat laun, rasa di antara mereka akhirnya menya...