8. He fell first

682 99 4
                                    

"I know you don't love me. But i don't care. I love you right now!"

$$$

"Kamu yakin baik-baik aja, kan?"

"Iya, Pra. Harus berapa kali coba aku bilang?"

Lily sampai kesal mendengar pertanyaan itu. Pasalnya, seharian ini ia bahkan tidak keluar sama sekali dari villa dan tidak bisa ke pantai karena Pra memintanya untuk istirahat saja. Jadi Lily pun menurut. Sampai akhirnya malam ini mereka pergi makan malam diluar. Itu pun Pra terus saja bertanya mengenai keadaannya.

"You were bleeding last night."

Lily meringis, mengerti dengan maksud Pra. "Itu normal!"

"Saya tahu. Tapi tetep aja, rasanya pasti sakit."

"Ya emang, tapi sekarang udah lebih baik."

"Are you sure?"

Kenapa rasanya seperti Lily mendengar maksud lain dari pertanyaan itu? Seakan Pra ingin memastikan kalau tidak apa untuk melakukannya lagi malam ini. Kemudian tatapan penuh peringatan Lily jadi langsung terarah pada pria yang kini tengah di gandengnya.

"Iya. Tapi kalo bisa, malem ini jangan minta dulu."

Lihatlah tampang tak terima itu! Bukankah sedari tadi Pra sangat khawatir? Kenapa saat dibilang seperti itu dia malah tampak tak terima?! Seperti anak kecil yang merajuk.

"I'm hungry."

Malah mengubah topik pembicaraan. Mereka menempati meja yang sebelumnya sudah direservasi oleh asisten Pra. Sibuk memilih menu dengan tampang seriusnya itu.

"Kamu mau pesan apa?"

"Samain aja, aku gak tau apa yang enak di sini."

Pra mengangguk-angguk. Dan nampaknya pria itu memesan cukup banyak makanan dari menu-menu yang disebutkannya. Tapi Lily tak kaget lagi. Orang kaya memang suka begitu. Dan lagi, biasanya makanan di tempat mewah seperti ini porsinya sangat sedikit. Harganya saja yang selangit.

Lily melihat ke arah pantai. Suara deburan ombaknya samar terdengar karena jaraknya yang tidak begitu dekat dengan pesisir. Sekali lagi mensyukuri hidupnya karena bisa makan di tempat seperti ini dengan dress cantiknya yang berwarna putih dan harganya bahkan lebih dari gajinya selama lima bulan. Belum lagi makanan yang akan ia makan nanti, Lily sampai tak berani untuk melihat buku menu, takut kaget melihat banyaknya uang yang kemudian akan berakhir menjadi kotoran. Kalau saja tidak dengan Pra, Lily yakin ia tidak akan mengalami ini semua.

Rasanya seperti hidup di negeri dongeng. Ah ya, sejak malam pesta itu, hidupnya kan memang seperti Cinderella, hanya kurang sepatu kaca saja.

"Ada yang lucu?"

Ah, Lily melakukannya tanpa sadar. Ia kemudian menoleh ke arah Pra yang entah sejak kapan memandanginya sampai-sampai memergokinya tengah tersenyum sendiri.

"Hidup gue plot twist banget, Pra," Lily bicara dengan santai. Dan tampaknya Pra juga tidak keberatan dengan itu.

"Plot twist gimana?"

"Satu bulan lalu gue masih ngelayanin orang-orang kaya yang makan di restoran. Tapi hari ini, gue ada di Bali, duduk di salah satu restoran mewah, dan lagi dilayanin sama pelayan di sini. Bener-bener gak terduga. Bahkan gak pernah ada di list hidup gue."

"Kamu punya list?"

Lily menganggukkan kepalanya. Memandang hampa ke arah lain sambil bercerita, "Iya. Rencananya, setelah lulus kuliah, gue mau cari kerjaan kantoran, kaya di SCBD gitu, kan keren, yah?! Nyicil rumah KPR, terus nyicil mobil, ambil cuti buat jalan-jalan, terus nikah, punya anak, ajak mereka jalan-jalan. Terus akhirnya mereka punya pasangan. Gue pensiun dan punya banyak kontrakan. Terus akhirnya gue habisin sisa hidup gue di pedesaan sama suami gue. Nunggu anak-anak sama cucu-cucu gue dateng pas mudik. Pasti seru banget."

Suddenly Became Cinderella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang