(10). Menebus Kesalahan

48 24 4
                                    

🌻🌻🌻

Ketika kita diizinkan untuk hidup lebih lama,
bisa jadi itu untuk menebus sebuah salah.

-Krisan Putih-

¤¤¤

Seperti sudah jadi kebiasaan sekitar dua bulan yang lalu, Handaru selalu pulang larut malam, paling tidak jam sepuluh ia baru sampai rumah, lagipula tidak akan ada yang mencarinya kesana kemari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti sudah jadi kebiasaan sekitar dua bulan yang lalu, Handaru selalu pulang larut malam, paling tidak jam sepuluh ia baru sampai rumah, lagipula tidak akan ada yang mencarinya kesana kemari. Ia pergi dan pulang semaunya, dengan setumpuk rasa sedih tentunya.

Kali ini, ia mampir ke sebuah minimarket yang tak jauh dari rumahnya. Sedikit rasa lapar yang menghampiri memaksanya untuk memberi asupan untuk perutnya malam ini. Setelah berpikir sebentar, akhirnya ia mengambil lalu menyeduh satu cup ramyeon dan satu cup berisi kopi.

Setengah jam berlalu, isi di dua cup miliknya sudah tak bersisa. Ia masih duduk disana, lalu merogoh satu cokelat dari saku jaketnya, membuka bungkusnya dan memakannya, berharap manisnya dapat menghilangkan sedikit pilu yang ia rasakan, seperti kata Jenaka, "ini tidak banyak, tapi semoga sedikit membantu". Semoga saja.

Jam di ponselnya menunjukkan pukul sembilan lewat empat puluh tiga menit. Dengan pikiran kalut, ia melangkahkan kakinya untuk pulang. Sepanjang jalan, ia mulai menebak-nebak kejadian apa yang akan menyambutnya sesampainya nanti dirumah. Apakah ada suatu keajaiban atau justru semakin mengahancurkan keadaan.

Ia menggelengkan kepalanya pelan, mencoba menepis pikiran-pikiran negatif yang tak kunjung berkesudahan.
Ceklek. . .

Handaru membuka pintu dengan rasa syukur, sebab pintu rumah tak pernah dikunci, ia masih dipersilahkan untuk pulang. Walau kenyataannya ia tak dianggap lagi. Ia adalah bayangan dirumahnya sendiri, tidak dipersilahkan pergi, tapi hadirnya seolah tak diinginkan lagi.

Ia melepas sepatunya yang sedikit kotor, lalu melangkah untuk menyalakan lampu seperti biasa. Langkah pelannya melewati ruang keluarga, ia disambut aroma alkohol yang sudah menyeruak dimana-mana. Botol-botol kosong sudah berserakan di lantai.

Handaru menghela napas panjang, menaruh tasnya diatas kursi, lalu memunguti botol-botol bekas disana. Sesekali ia menyeka pipinya yang tiba-tiba basah. Sesekali juga ia menatap sosok perempuan yang sedang berantakan disana.

"Ma, jangan minum-minum lagi ya. Ini sudah terlalu banyak, nanti Mama bisa sakit", ucap Handaru gugup.

Ia diam beberapa saat, lalu melanjutkan kalimatnya lagi.

"Kalau Mama mau marah, atau mau pukul aku gapapa. Tapi tolong Mama jangan minum alkohol lagi ya. Aku mohon", Handaru kembali mengusap air matanya yang tak bisa diajak bekerja sama.

Tak disangka ucapan Handaru mendapat respon dari sang Mama, yang awalnya hanya tatapan dingin, beberapa kemudian Mamanya membuka suara. Ya, untuk pertama kalinya sejak beberapa bulan lamanya.

"Peduli apa kamu sama saya ?, kamu sendiri ga pernah dengar omongan saya. Kamu pikir saya begini gara-gara siapa ? KAMU, SEMUA GARA-GARA KAMU !!!".

Prang. . . . .

Beberapa detik kemudain darah segar menetes diatas lantai putih. Handaru hanya bisa mematung, menatap lengan kirinya yang kini tergores, dan berdarah.

Pecahan gelas berserakan didekat kakinya.

"JAWAB SAYA ! Peduli apa kamu sama saya !", ucap Mamanya dengan suara bergetar setelah melempar gelas bekas alkohol yang berhasil mendarat dan melukai lengan anaknya tersebut.

Handaru hanya meringis, tanpa membalas sepatah katapun ucapan dari Mamanya. Dengan perasaan takut, ia menatap Mamanya yang yang bangun dari kursi dan berjalan menujunya.

"Obati lukamu, kamu ga boleh mati sebelum menebus kesalahan kamu", bisik sang Mama ketika melewati Handaru, lalu berlalu begitu saja.

Handaru tertegun mendengar ucapan Mamanya. Kata-katanya tidak seberapa banya, namun tepat mengenai bagian terdalam hatinya, yang terasa sakit seketika. Beberapa saat kemudian ia sadar sepenuhnya, tapi ia masih saja tidak memperdulikan lukanya sama sekali. Ia kembali membersihkan pecahan gelas serta botol-botol yang masih tersisa, lalu menuju kamarnya dengan perasaan campur aduk. Bagaimana tidak, ia berbohong kalau mengaku tidak senang sebab Mamanya sudah mau bicara dengannya, tapi ia juga berbohong jika mengaku kalau perasaannya tidak terluka dengan kata-kata yang keluar dari Mamanya barusan.

"Ma, aku harus apa ?"

"Aku harus gimana, kalau aku belum boleh mati"

Anak malang itu sedang menyandarkan tubuhnya dibalik pintu sekarang. Ia mengacak-acak rambutnya, lalu berteriak tanpa suara. Entah sudah berapa kali ia selalu menangis disana, dengan luka-luka baru dan luka-luka lama yang belum sembuh.

Handaru baru saja mengobati luka di lengannya, tapi tidak dengan luka di hatinya. Sepanjang malam ia berpikir bagaimana caranya menebus kesalahan, bagaimana caranya memperbaiki keadaan, bagaimana caranya agar Mamanya memaafkan.

Ia mengambil sebuah buku kecil pemberian seseorang, lalu membuka halaman kosong yang belum terisi apa-apa. Ia mengambil pulpen lalu menuliskan kesedihan-kesedihannya disana, dan mengakhirinya dengan kalimat

"Ma, apa benar aku tidak bisa memilih untuk mati saja ?".

"Ma, aku minta maaf".

(bersambung)

.

.

.

Setiap orang punya caranya sendiri untuk menuangkan rasa sedih, dan sebagian besar memilih untuk menuliskannya pada kertas-kertas putih.

-Jenaka-

¤¤¤

__________________________________

Terima kasih sudah membaca,
Jangan lupa follow, komen, dan vote ya
Terima kasih banyak 💚

salam hormat,

Weje 🌻

____________________________________

🌻🌻🌻

KRISAN PUTIH [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang