19. Rapuh

84 11 7
                                    

Aku rapuh, Pa. Aku butuh kasih sayang sebagai seorang anak. Bukan kekerasan yang setiap hari aku dapatkan...

-Alisya

*****

Sore hari setelah pulang dari sekolah. Raka mengajak Alisya ke jembatan yang berada tak jauh dari apartemen untuk melihat sunset. Tujuannya tak hanya itu, Raka juga berniat untuk menghibur Alisya yang seharian ini lebih banyak diamnya.

"Ngapain lo ngajak gue kesini?" Tanya Alisya saat menyadari bahwa motor yang dinaikinya berhenti di tengah-tengah jembatan.

"Mau ajak lo jalan-jalan," balas Raka.

Cowok itu turun dari atas motornya lalu melepas helm yang melindungi kepalanya selama perjalanan. Ia menyugar rambutnya ke belakang membuat aura tersendiri didalam dirinya. Benar-benar idaman, rambut hitam legam milik Raka yang berantakan karena tertiup angin itu membuat parasnya kian bertambah.

"Gue mau pulang, mau tidur," pinta Alisya. Salah, gadis itu meminta pulang bukan untuk tidur. Melainkan dia ingin menangis sepuasnya didalam gelapnya kamar tanpa ada siapapun yang mendengarnya. Sangat pintar bukan? Bahkan ia tak ingin siapapun mengetahui masalah yang ia hadapi sekarang.

"Iya, habis jalan-jalan gue anter lo pulang," balas Raka seraya melepas helm yang masih berada di kepala Alisya.

Alisya berdecak sebal. "Ck! Tapi gue mau tidur,"

"Ooh, jadi tidur lebih penting daripada gue, hmm?" Tanya Raka dengan suara serak yang menakutkan. Ia yakin, dunianya sedang tidak baik-baik saja jika Raka sudah berbicara dengan nada mengerikan seperti barusan.

"Eng-enggak," balas Alisya.

"Good girl," Raka menepuk puncak kepala Alisya pelan.

Cowok itu melepas jaket yang melapisi seragamnya. Ia mengikatkan jaket miliknya di pinggang gadis itu. Melihat rok sekolah Alisya yang berukuran lima centi diatas lutut membuatnya dengan cepat menutupinya.

"Jangan pamer!" Ujar Raka tak suka.

"Iya-iya,"

Mereka berdua pun mulai berjalan menyusuri jembatan yang kini mulai dipadati oleh banyaknya pengunjung. Jembatan itu memang dijadikan salah satu objek wisata sore hari oleh warga sekitar. Tak heran jika semakin sore semakin banyak orang yang mengunjungi jembatan tersebut. Entah hanya ingin mencari suasana baru atau ingin menenangkan pikiran.

Raka mengajak Alisya untuk duduk dipinggir trotoar yang menghadap langsung hamparan sungai besar di depannya. Cukup mengerikan memang, namun suara air yang mengalir itu mampu mengalahkan rasa ketakutannya menjadi kenikmatan yang sesungguhnya. Suasananya benar-benar tenang sekarang. Tak ada yang Alisya lakukan sekarang selain menikmati suara air yang mengalir dengan deras.

"Sini," Raka menarik kepala Alisya untuk bersandari di dada bidang miliknya.

"Tenang banget," guman Alisya sembari memejamkan matanya. Ia mendengar degup jantung Raka yang berdegup dengan tenang.

"Apanya?"

"Jantung lo," balas Alisya lalu membuka kedua matanya. Ia mengamati setiap ukiran di wajah Raka dari bawah. Rahang tegas sebagai ciri khas seorang pria. Mata tajam bak elang yang menyorotkan ketegasan. Alis tebal yang saling menaut menambah kesan menakutkan dari dalam diri cowok itu.

Raka yang merasa dirinya diperhatikan itupun segera mengalihkan pandangannya kepada gadis yang sedang meletakkan kepalanya di dadanya. Kedua insan itu saling melakukan kontak mata yang begitu lama. Keduanya saling jatuh kedalam pesona indah masing-masing. Alisya mengagumi mata kecoklatan milik Raka sedangkan Raka mengagumi mata hitam legam milik Alisya.

SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang