{25}

777 34 0
                                    

"Nazeera," panggilan itu membuat Zira mengahadapkan wajahnya ke lawan bicara yang duduk di seberangnya.

"Aaa," Fiqri menyodorkan nasi beserta lauknya pada Zira. "Buka mulutnya,"titahnya.

"Kak Fiqri ta—."

"Menolak permintaan suami dosa, Ra. Ayo buka mulutnya," ucapnya memotong ucapan Zira.

Zira membuka mulutnya lalu menerima suapan itu, "Pintar,"ucap Fiqri selepasnya sembari tersenyum tipis.

Zira ikut tersenyum juga, "Terimakasih kak,"ucapnya saat makanan itu sudah tertelan.

Fiqri mengangguk, "sama-sama,"balasnya.

"Ra, saya mau bertanya sama kamu satu hal boleh?,"tanya Fiqri.

"Tanyakan saja kak selagi aku bisa jawab akan aku jawab,"ucap Nazeera.

"Saya ingin bertanya soal lukisan gambar di cafè waktu itu kamu ingat?."

"Lukisan gambar di cafè?," Zira mencoba mengingat-ingat pasal lukisan yang di maksud oleh kak Fiqri itu.

"Oh iya zira ingat kak, kenapa?,"tanya Zira ketika ia berhasil mengingat apa yang di maksud dari pertanyaan Fiqri.

"Kamu membuatnya saat itu untuk saya?," pertanyaan itu di jawab dengan anggukan kecil dari Nazeera.

"Atas dasar apa? Kenapa tiba-tiba kamu menggambar lukisan itu untuk saya? Kamu diam-diam memandangi saya ya saat itu? Atau kamu sudah diam-diam menganggumi saya?,"tanya Fiqri.

Zira malah terkekeh mendengar pertanyaan beruntun dari sang suami, "Masyaallah percaya diri sekali suami Zira ini. Kenapa bisa berfikir kalau Zira memandangi kakak secara diam-diam? Kenapa juga bisa mikir Zira menganggumi kakak juga secara diam-diam hanya karena hal itu?," kini Zira malah balik bertanya.

"Ya saya hanya menduga-duga saja. Siapa tau saja kan memang benar seperti itu."

"Mm.. untuk memandangi kakak saat itu secara diam-diam iya zira akui zira lakuin karena untuk menggambar itu, tapi buat kagum enggak ada persaan kagum pada saat itu. Gak tau kenapa tapi saat zira lihat wajah kakak saat itu yang kaya lagi ada masalah zira malah ingin menggambar wajah tersebut. Maaf ya kak sudah lancang waktu itu menggambar secara diam-diam," ucap Zira.

"Gak masalah. Saya suka gambar itu dan saya juga suka kata-kata yang tertulis di gambar tersebut. Kalau mungkin kamu bilang ingin melukis gambar saya waktu itu mungkin saya bisa pose dulu biar lebih bagus gambarnya,"ucap Fiqri.

Zira mengulum senyum, "Gayaan mau pose kalau gak sengaja ketemu aja itu muka datar kaya gak ada ekspresi ini malah mau pose,"ucap Zira.

Fiqri terkekeh mendengar ucapan itu, "Kamu udah lama suka gambar kaya gitu?,"tanya Fiqri.

"Sudah lumayan lama si kak. Pertama kali di kenalin gambar atau ngelukis gitu ya sama almarhum abang. Dulu sebelum jadi tentara abang juga suka melukis sampai ada ruangan khusus untuk lukis di dalam kamar abang,"jelasnya.

"Nanti deh pas sampai rumah aku kasih tunjuk kakak ruangan lukis itu,"ucap Zira.

"Boleh, yaudah sekarang lanjut makannya selepas itu kita langsung pulang."

🦩

Nazeera menepati ucapannya. Selepas ashar setelah Fiqri kembali dari masjid dan berganti pakaian Zira langsung mengajak Fiqri ke kamar almarhum Rey.

"Ini ruangannya,"ucap Zira saat ia menggeser pintu yang ada di dalam kamar almarhum abangnya.

Pintu itu merupakan penghubung antara kamar almarhum sang abang dengan sebuah ruangan yang menjadi favorit keduanya pada masa itu.

EMBUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang