22 || Kasus Tertutup

171 26 3
                                    

Tradisi itu terulang kembali, tapi makin parah.

Pagi ini kafetaria menjelma menjadi tempat taruhan raksasa. Mereka menjadikan para Top 10 sebagai agenda gosip hampir di tiap akhir semester. Namun, kali ini mereka terpecah menjadi dua kubu besar, yaitu Aiza dan Leon sebagai petarung terkuat yang dijadikan bahan perdebatan.

"Ini pasti ulah akun anonim yang tadi malam membuat taruhan tak masuk akal," tukas Fath.

Jia langsung mengangguk setelah menyesap mi dalam mangkuk sotonya. "Tidak mungkin dia rela dikeluarkan dari sekolah jika Aiza yang menjadi Top 1. Itu namanya gegabah."

"Aku yakin dia dari klub media. Buzzer milik Leon, " lanjut Fath. Jidatnya berkerut-kerut. "Bahkan ada beberapa tulisan di mading yang terang-terangan memuji Leon agar dia terlihat superior."

"Atau mungkin hanya orang iseng yang ingin memperkeruh suasana," sela Sammy yang enggan berpikir waswas.

Tanpa diduga, seseorang di salah satu meja mulai berdiri. Mengambil posisi dengan membusungkan dada. "Dengar ...! Aku berani bertaruh dan akan mencukur habis rambutku jika Leon kalah!"

Minuman Fath nyaris tersembur dari mulutnya.

Pernyataan itu langsung mendapat teriakan riuh semua siswa di dalam kafetaria yang sekaligus membuat selisih paham semakin menjadi-jadi. Mereka lanjut bercekcok dan membuat berbagai macam taruhan nyeleneh.

Pemuda itu lalu tersenyum miring dan memutar pandang seakan mencari lawan.

"Apa dia anak baru?" Fath tak terima. "Sepertinya dia tidak tahu bahwa Aiza adalah aset berharga sekolah ini."

Alih-alih menyumbat mulut Fath, Aiza lebih memilih menangkup keningnya yang terasa berat.

"Oke!" Tak berselang lama, seorang perempuan dari sisi ruangan yang lain balas berteriak, "Jika Leon benar-benar bisa mengalahkan Aiza dan menjadi Top 1 di akhir semester nanti, maka aku akan membayar tagihan kafetariamu hingga kau lulus!"

Tepuk tangan semakin meriah menyambut dua taruhan yang menghebohkan itu. Tak ada sedikit pun rasa ragu di wajah mereka. Keduanya yakin akan jagoan mereka masing-masing.

Aiza menggosok telinganya yang makin panas dan mendadak hilang nafsu makan saat itu juga. Duduknya gelisah seperti ingin kabur. Kemudian tak sengaja melirik Zahi di sebelah yang hanya terus makan seperti tak ada gangguan.

Dia mulai berpikir mungkin laki-laki itu sedang punya masalah dengan ayahnya lagi. Namun, Lagi-lagi itu bukan urusannya.

"Tidak usah pedulikan." Zahi akhirnya buka suara, tapi matanya masih fokus pada makanan.

Gadis yang dimaksud tak membalas. Aiza justru mengalihkan pandangan pada Leon yang jarak duduknya lumayan jauh dari mereka. Tak disangka pemuda beralis tebal itu balas menatap seakan menerima telepati. Hanya beberapa saat, lalu kembali bersikap normal. Tampaknya ia juga tak begitu tertarik dengan para petaruh amatir itu.

"Leon sepertinya punya kemungkinan besar merebut posisimu." Zahi kembali berujar.

Mata Aiza memicing tipis. Meski dia benci dengan agenda kuno ini, tapi entah kenapa dia tidak suka ketika Zahi tak membelanya.

"Hei, Bung!" seru Fath. "Kita di pihak Aiza. Kita harusnya mendukung Aiza. "

"Tapi benar juga." Aiza menyambut cepat. Berupaya netral sekaligus terpaksa sepakat dengan perkataan Zahi. "Bukan hanya aku dan Leon, bahkan para Top 10 lainnya juga punya kesempatan yang sama. Mereka saja yang terlalu berlebihan."

Jia mencoba merespons dengan kepala dingin. "Tidak, Aiza. Kami tidak bermaksud meremehkan top 10 yang lain, tapi kita juga jangan denial." Gadis itu mencoba mengingat-ingat. "Terakhir, di semester lalu, Fiona juga digadang-gadang menjadi kandidat Top 1, tapi nyatanya akumulasi nilai Fiona tetap masih jauh di bawah kalian."

CONSEMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang