Sanha sungguh-sungguh dengan ucapannya di telepon beberapa hari lalu. Pria itu baru saja mengabari Yura bahwa ia sedang menuju halte yang dimaksud. Yura bahkan perlu lari untuk ke halte bus karena perhentian yang Sanha maksud berada satu stop setelah halte daerahnya.
Pandangan Yura menjadi awas saat bus sudah melaju. Memakan waktu beberapa menit hingga kendaraan besar itu berhenti di halte selanjutnya.
Yura mengembuskan napas saat pandangannya bertemu mata pria berpakaian sangat santai dengan satu koper besar.
"Terima kasih."
Yura masih mengikuti gerakan pria itu yang masih menyesuaikan posisi kopernya. "Ini menyulitkanmu," ujar Yura tanpa menjawab Sanha. "Kau bisa pergi dengan mobil dan tidak perlu repot untuk angkat-angkat koper sendirian."
"Dan kau akan menolak mengantarku."
"Apa harus aku antar?" tanya Yura. "Dan lagi, Massachusetts bukan daerah terpencil ku rasa. Kalaupun tidak ku antar, kau masih bisa meneleponku sesekali."
"Tidak bisa, Yura." Sanha menggelengkan kepalanya. "Ini bukan sebatas sibuk anak kuliah. Orang tuaku mulai luluh. Mereka bisa menerima keputusanku sekarang."
"Itu bagus." Jawab Yura. "Lalu?"
"Tidak begitu bagus untukku." Yura menatap Sanha dengan bingung. "Aku tidak bisa sering melihatmu kedepannya. Orang tuaku minta bukti dengan membuat rumah sakit atau setidaknya klinik besar. Ck konyolnya aku turuti permintaan mereka." Sanha mengakhiri kalimatnya dengan sedikit bergumam.
"Membuat rumah sakit?" ulang Yura. Sanha memberi anggukan panjang. "Apa itu mungkin dalam waktu dekat? Aku tidak meragukanmu, tapi itu terdengar sangat sulit dan berat."
Sanha terkekeh. "Aku pun meragukan diriku sendiri karena itu." Katanya. "Itu alasannya aku minta untuk diantar hari ini. Kemarin, aku bilang, bisa 2 bulan di sana. Aku kembali hanya untuk mengurus administrasi super market nanti. Tidak tahu juga pastinya kapan aku kembali."
Tanpa permisi, pria di samping Yura itu menggenggam tangan Yura dan memasukan ke saku pakaian hangat yang dipakainya. "Mulai besok, aku harus menggenggam tanganku sendiri. Jadi, biarkan hari ini aku menggunakan tanganmu." Sanha membungkam protes Yura. "Tidak. Hanya untuk beberapa jam saja."
❆❆❆
Sedikit melenceng dari yang Yura kira, Sanha tidak langsung berhenti di bandara. Pria itu kini membawanya ke salah satu toserba kecil dekat perhentian sebelum bandara.
Kini, Yura sedang duduk di salah satu kursi bersama koper Sanha di dekatnya. Sang pemilik koper sedang membayar belanjaannya di kasir. Pria itu terlihat membeli cukup banyak makanan.
"Belum pernah, kan, sarapan di luar sepagi ini?" Sanha yang baru saja kembali, menggeser satu cup sup instan dengan samgak gimbab¹⁸ dan kopi yang terlihat masih mengepul.
Yura menoleh. Ia mengangguk. "Sarapanku selalu lebih pagi dari ini. Tapi ini kali pertama aku sarapan di luar rumah. Terima kasih."
Sanha tersenyum. Ia mengaduk ramen instannya setelah duduk nyaman. "Yura, aku tidak tahu rumahmu tepatnya di mana."
Yura yang baru saja menelan satu suap sup hangatnya menoleh mendengar itu. "Aku tinggal di rumah saudaraku." Jawabnya. "Tepat satu stop sebelum halte kita bertemu tadi."
Sanha mengangguk. "Kenapa tidak tinggal sendiri?" tanyanya sebelum mengambil suapan besar untuk ramennya.
Yura tersenyum. "Untuk saat ini belum bisa. Kau tahu ini bukan kota ku. Masih perlu dipikirkan matang-matang untuk tinggal sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Too Late [END]
ФанфикPerjodohan bukan sesuatu yang bisa menyelesaikan masalah. Yura tahu itu. Entah apa yang membuat ibunya tega 'menjual' Yura pada orang yang meminjamkannya uang hingga anak satu-satunya yang ia miliki benar-benar menikah. Hidup dalam sebuah perjodoha...