09: Berhenti Bekerja

42 2 0
                                    

Ini hari paling berbeda untuk Yura dari beberapa bulan belakangan. Sejak semalam, tidak ada satupun pesanan yang bisa ia selesaikan. Ia bahkan menolak satu pesanan karena tidak yakin dengan waktu yang ditentukan pelanggan.

Yura rasa, ada yang menganggu dirinya sejak semalam. Mungkin, Henry yang perlu ia salahkan dalam kasus ini.

Henry masih dalam kondisi tidak betul-betul sehat. Pria itu masih menolak saat diminta berobat maupun sekedar makan berat. Henry hanya memakan selembar roti dengan selai sederhana sebelum mengonsumsi obatnya. Yura berkontribusi banyak dalam hari sakit Henry ini.

Kini, di dapur, Yura sedang mengasah keterampilan memasaknya. Ia bisa dibilang pandai dalam memasak. Hanya saja, ia jarang menggunakannya karena waktu untuk dirinya di rumah lebih sedikit daripada di luar.

Tteok-manduguk⁴⁹, itu yang sedang Yura buat. Penghuni kamar sebelah sangat keras kepala dan ia baru sadar hal itu. Kali ini, ia akan sedikit memecah kekeraskepalaan pria itu. Lagi pula, Henry sepertinya belum makan lebih dari 12 jam. Pria itu terlihat sangat lemas.

Yura mematikan kompor setelah semuanya selesai. Ia memindahkan 2 porsi ke masing-masing mangkuk yang sudah ia siapkan. Tidak lupa, ia menambahkan rasa pedas pada salah satunya.

Yura meninggalkan dapur menuju ruang tamu. Henry masih menolak tidur di kamar yang entah alasannya apa. Yura membawakan beberapa bantal dan selimut untuk membuat pria itu sedikit nyaman.

"Henry-ssi," Yura menepuk selimut yang menutupi tubuh Henry setelah menyimpan mangkuk-mangkuknya di meja. "Jogeum⁵⁰-man⁵¹ ireonaseyo,"

Henry langsung tersadar tanpa lama. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum pandangannya benar-benar bersih melihat Yura.

"Bangun dulu. Kau perlu makan."

Henry mengucek matanya. Ia bangun perlahan dan seketika dingin menyeruak. Dalam posisi duduknya, ia masih berada dalam selimut tebal. "Kau akan pergi bekerja?"

Yura mengangguk singkat. "Makanlah." Yura menyodorkan satu mangkuk yang tidak ia beri rasa pedas. "Aku akan makan bersamamu di sini."

Henry melirik makanan di depannya sebelum kembali pada Yura. "Dingin." Ucapnya dengan suara kecil.

"Dingin?" ulang Yura. Ia menyimpan kembali mangkuk untuk Henry. Henry mengangguk. "Mianhae."

Yura mengulurkan tangannya mendekat pada dahi Henry yang terlihat bulir-bulir keringat di sana. Dingin. Itu yang Yura rasakan di telapak tangannya saat menempel di dahi Henry. Yura tanpa sadar menyisir rambut Henry ke belakang dan mengelap keringat yang mengembun di pelipis Henry.

"Makan dulu, setelah itu aku akan memberi mu obat." Yura kembali mengangkat mangkuk Henry. Ia menyodorkan sesendok potongan mandu dengan kuahnya pada Henry. "Sedikit saja. Kau tidak makan sejak kemarin."

Henry menatap melas pada Yura. "Ti—"

"Sedikit saja. Ini hangat. Aku yakin perutmu bisa sedikit menerima."

Sedikit ragu, Henry akhirnya membuka mulut. Ia memakan apa yang Yura sodorkan padanya. Tidak buruk, namun tidak begitu baik. Rasa hangatnya memang bisa diterima oleh perutnya namun makanan itu terasa pahit. Henry yakin itu bukan salah Yura.

Beberapa suap sudah berlalu dengan Henry yang sedikit memaksakan diri. Satu mangkuk kecil yang Yura sediakan, Henry berhasil makan setengahnya. "Sudah." Henry menutup mulutnya saat Yura menyodorkan. Seperti anak kecil.

Yura mengangguk. Ia membawa mangkuk Henry dan miliknya yang belum tersentuh kembali ke dapur. Ia membiarkan Henry sendiri dan akan memakan miliknya di dapur.

Not Too Late [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang