22: Aniyo, Andwaeyo!

21 2 0
                                    

Henry menghela napasnya. Urusannya di agensi akhirnya selesai. Beberapa perjanjian kerja sama perlu ia tanda tangani dan harus ia hadiri pertemuannya. Jujur saja, ia rasanya ingin memarahi siapapun yang ada di agensi yang sudah mengganggu waktu liburnya dengan Yura. Tapi apa daya, ia memang tidak bisa berlibur terlalu lama.

Setelah pamit dengan manager-nim yang menemaninya mengurus perjanjian, Henry langsung bergegas menuju parkiran dan langsung pergi dengan mobilnya. Ia tak sabar bertemu dengan Yura.

Menghabiskan waktu 2 Minggu penuh dengan Yura membuat Henry sadar akan pentingnya keberadaan Yura di hidupnya sekarang, ia sudah sangat terbiasa dengan kehadiran wanita itu.

Saat liburan kemarin, keduanya sama-sama membuka diri. Banyak bercerita tentang kehidupan masing-masing yang tidak sempat mereka bagi. Begitu juga tentang pekerjaan. Yura menceritakan semua pekerjaan yang pernah wanita itu jalankan untuk hidupnya sendiri. Henry pun menceritakan perjalanan karirnya secara rinci, keluh dan kesahnya juga membagi beberapa cerita lucu yang pernah ia alami selama berada di dunia industri.

Banyak hal hal yang baru pertama kali mereka lakukan di sana. Termasuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan sejak lama sebagai pasangan menikah.

Hari sudah gelap, jalanan sudah penuh dengan kendaraan karena berbenturan dengan jam pulang kerja dan makan malam. Henry menghabiskan waktu sedikit lebih lama di jalan hingga akhirnya ia sampai di rumah. Tak sabar bertemu Yura. Wanita itu pasti sedang duduk di lantai ruang tamu dan menger—tidak ada Yura.

Henry segera berjalan menuju dapur dan tidak menemukan wanita itu di sana. Jalannya sedikit tergesa saat menaiki tangga, jika Yura tidak ada di kamar, sudah dipastikan wanita itu menghilang.

Pria itu menghela napas lega saat menemukan Yura berbaring di ranjangnya. "Yura," ia mendekat pada wanita yang membelakanginya itu.

Mata Henry tiba-tiba saja melebar saat melihat Yura menangis dengan mata terpejam. "Yura-yaa," ia manepuk pelan pipi wanita itu. Yura tidak terisak apalagi tersedu, wanita itu seperti benar-benar tidur namun air matanya meleleh melintasi pipinya. "Chagiya¹⁸²,"

Bulir-bulir keringat terlihat di kening wanita itu. Air matanya bukan lagi menetes, itu mengalir. Tepukan yang Henry berikan sama sekali tak berpengaruh. Tangan wanita itu yang berada di luar selimut terlihat mengepal kuat.

"Yura," Henry kembali menepuk pipi Yura dengan sedikit lebih bertenaga dari sebelumnya. Ia juga berusaha melepaskan kepalan Yura, tangan wanita itu sedikit memutih karena kepalan yang kuat.

Bukan membuka matanya, Yura malah jadi terisak. Henry dibuat semakin panik melihat itu. Ia mengguncang tubuh Yura cukup kuat hingga wanita itu terbangun sedikit panik.

Melihat Henry di sisinya, Yura menghela napas lega. Ia beringsut duduk dengan bantuan pria itu. "Eonje wasseo?" tanyanya seperti biasa.

"Kenapa kau menangis?" Henry balik bertanya. Ia meraup wajah Yura dan mengusap pipi wanita itu untuk menghilangkan jejak air mata. "Kau mimpi buruk?"

Henry berniat untuk memarahi Yura saat ia tidak melihat wanita itu di ruang tamu. Yura bilang padanya kemarin, wanita itu akan menunggunya pulang dan akan makan bersama. Tapi wanita itu tidak ada. Ditambah, wanita itu membuatnya khawatir karena ia kira menghilang. Lagi, kekhawatirannya bertambah saat melihat Yura menangis. Ini kali pertama ia melihat Yura menangis di hadapannya.

Yura terlihat mengerutkan keningnya. Ia mengusap matanya dan menemukan jarinya basah. "Aku menangis?" Ia balik bertanya.

Henry menatap Yura tepat di mata wanita itu. Satu bulir air mata kembali terjun meski ekspresi Yura dibuat bingung. Ia menarik Yura ke pelukannya dan tanpa diminta, Yura melingkarkan tangannya di tubuh Henry seolah ia benar-benar membutuhkan itu sejak awal. "Kau ingat mimpi buruk mu? Kau ingin menceritakannya?"

Not Too Late [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang