London, 1885
Mendung gelap terus bergelantung di langit London sepanjang hari. Gerimis mulai berjatuhan menyapa bumi, mengiringi isak tangis seorang bocah laki-laki di pemakaman yang sepi itu.
Rambut pirangnya berantakan, ada banyak bercak tanah pada rompi dan celana hitamnya. Anak itu sendirian menangis tersedu-sedu di atas dua pusara yang tampak masih baru. Kendati gerimis terus menyerbu, bocah laki-laki itu tidak berniat sedikitpun untuk beranjak dari sana. Suara tangisnya justru terdengar semakin kencang.
"Kenapa kalian meninggalkanku?" tanyanya dengan nada tercekat, seolah ribuan rasa sakit turut mengalir dalam kalimat singkatnya yang menyedihkan.
"Karena memang sudah waktunya." Bocah laki-laki itu terkejut ketika sebuah suara menjawab pertanyaannya. Detik berikutnya, kepala pirang itu telah dinaungi sebuah payung berwarna abu-abu yang dipegang oleh gadis kecil bergaun biru dengan hiasan renda yang tengah menatapnya.
"Huft, syukurlah. Aku hampir berpikir yang menangis tadi itu bukan manusia," ucap gadis itu bernapas lega.
Belum sempat si bocah pirang mengeluarkan sepatah kata, gadis itu bertanya, "Siapa namamu? Dan kenapa kau sendirian di tempat ini?"
"Kau tidak perlu tahu. Pergilah. Aku ingin sendiri," jawab bocah laki-laki itu ketus.
"Hmm, begitu, ya? Tapi sayangnya aku juga punya urusan di situ, dan tangisanmu agak mengusikku tadi," ucap gadis itu menunjuk dua makam di belakang si Bocah Pirang.
"Aku tidak pernah melihatmu di tempat ini sebelumnya, apa kau baru pertama kali ke sini?" tanya gadis itu. Anak laki-laki berambut pirang menyeka air matanya, ia mengangguk lemah.
Gadis itu menghela napas. Ia ikut berjongkok di sisi anak laki-laki berambut pirang yang tampak sebaya dengannya.
"Aku sering datang ke tempat ini. Ada banyak wajah sedih yang datang membawa bunga dan sekadar bercakap-cakap dengan batu nisan. Aku juga melakukannya," gadis itu melirik nama yang tertera pada dua pusara di depannya, "Apa mereka adalah orang yang sangat berarti bagimu?" tanyanya.
"Mereka orang tuaku," jawab bocah lelaki itu dengan sedih.
"Aku mengerti apa yang kau rasakan. Itu juga terjadi padaku dua tahun yang lalu. Tapi ayahku pernah berkata bahwa kita semua pasti akan mati pada waktunya. Dan tidak perlu khawatir, karena mereka yang mati selalu mengawasi kita dan mereka hidup di dalam sini." Gadis itu menunjuk tepat di dada bocah berambut pirang yang kini menatapnya dengan genangan air mata.
Gadis kecil dengan surai gelap itu tersenyum. Ia menepuk pundak bocah lelaki itu dan berkata, "Jangan terus-terusan bersedih, ya. Aku percaya barangkali orang tuamu tengah mengawasi kita, dan pasti akan selalu begitu. Kau harus bangkit dan hidup bahagia. Bukankah itu yang diinginkan semua orang tua?"
Bocah pirang itu menyeka air mata dan ingusnya. Ia mengangguk dengan wajahnya yang kacau namun sorot matanya tampak lebih hidup dari sebelumnya.
"Tuan Muda! Tuan Muda!"
Gerimis semakin deras, dari kejauhan terdengar samar suara seseorang tengah memanggil. Bocah laki-laki itu menoleh ke sekeliling, ia melihat seseorang yang amat dikenalinya di pintu masuk pemakaman. Ia kemudian menatap gadis itu.
"Aku harus pergi," ucapnya. Ia berdiri, sebelum benar-benar beranjak ia mengulurkan tangannya. "Uzumaki Naruto."
Gadis itu tersenyum manis menerima uluran tangan Naruto kecil.
"Hyuuga Hinata."
Naruto tersenyum dengan jejak air mata yang mulai dihapus oleh hujan. "Terima kasih telah mengingatkanku, Hinata. Mereka juga pernah berkata persis seperti yang kau katakan. Sampai jumpa."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Love In The Sea [HIATUS]
FanfictionHinata telah memutuskan; bahwa dia dan putranya akan pergi jauh dari Inggris. Mereka akan berlayar di atas RMS Titanic menuju New York. Hinata pikir ia telah pergi jauh dari segala kemelut masa lalunya begitu kapal menjauhi daratan. Namun di atas Ti...