"Kamu bisa bertahan lebih lama lagi, aku yakin. Meskipun berat, aku yakin kamu lebih kuat," ucap Athaya seraya mengelus pundakku yang masih gemetar karena kejadian tidak terduga itu. Athaya memeluk tubuh rapuh dan aku hanya bisa menangis di pelukannya.
"Aya?" Dengan suara parau aku memanggil Athaya. Kemudian dia melepas pelukannya. "Iya, kenapa? Coba cerita, kenapa kamu hampir ngelakuin hal ini lagi, Lin? Kepala kamu berisik lagi, ya? Aku mohon jangan dengerin dia, okay? Kamu masih punya aku. Jangan berpikir kalau aku bosan dengerin cerita kamu atau aku benci sama kamu karena kondisi kamu yang begini. Enggak! Sama sekali, aku masih mau jadi temen kamu, aku masih bisa dan aku berusaha selalu ada buat kamu. Cuma kamu temen yang aku punya," kata Athaya sekali lagi.
Athaya Maryanne satu-satunya teman yang aku punya, sejak kecil kita sudah berteman. Bertemu di sekolah taman kanak-kanak dan dia tetangga yang baru saja pindah dari kota lain waktu itu. Ibunya meninggal sejak Athaya kelas 3 sekolah dasar sedangkan ayahnya memilih untuk menikah lagi 2 minggu setelah sepeninggalan ibunya. Sejak kecil teman kesayanganku itu tinggal dengan Bi Marni, asisten rumah tangganya yang sudah Athaya anggap seperti ibunya sendiri. Hidup Athaya berkecukupan, tapi sayangnya dia tidak pernah bertemu lagi dengan ayahnya sejak duduk di bangku SMA. Aku pikir, sepertinya aku mengidolakan Athaya. Dia hebat, kuat menjalani hari-hari yang begitu sulit dan kesepian yang kini sudah menjadi temannya.
"Aya, mungkin hidup kamu lebih berat daripada aku, tapi kenapa kamu tidak ingin mati? Menurut kamu, dunia ini menyakitkan bukan?" tanyaku pada Athaya di jam makan siang. Setelah semuanya membaik, aku ingin banyak bercerita pada Athaya hari ini.
"Dunia memang menyakitkan, banyak orang jahat yang kita enggak tahu apakah mereka orang terdekat kita atau orang yang tidak kita kenali. Tapi, aku tetap memilih untuk hidup karena aku masih punya orang-orang yang aku sayangi. Kayak kamu, Bi Marni, Pak Beno. Kalau aku mati, siapa yang nemenin kamu? Siapa yang gaji Bi Marni sama Pak Beno? Meskipun aku udah anggap mereka kayak orang tua sendiri, tetep aja mereka kerja sama ibuku jauh sebelum aku lahir. Ya, setidaknya aku masih mau melihat mereka ada dan bisa makan enak di rumahku." Penuturan Athaya seolah mengingatkanku pada jalan cerita yang amat sangat berbeda dengan hidup yang aku punya. Bagaimana aku tidak mengidolakan sosoknya kalau setiap dia menguatkan aku, mengingatkan aku, dia selalu memberi kesan yang baik. Dia selalu mengingat sekelilingnya sedangkan aku kadang gelap mata dan hanya ingin mengakhiri hidup saja.
Semilir angin mengibaskan rambutku ketika aku duduk di bawah pohon rindang taman kota. Suasana kota Jakarta sore hari, lagu-lagu Nadin yang kudengar setiap hari tidak pernah membuatku bosan menikmati senja di taman kota ini sepulang bekerja. Hidup yang terlihat ramai tapi sunyi untukku, kadang membuat aku berpikir apakah aku hidup sendirian di dunia ini? Apakah aku akan hidup lebih panjang dan bisa menikmati senja besok dan di hari-hari selanjutnya? Apakah aku bisa mendengarkan Nadin bernyanyi untukku di konsernya? Entahlah, aku hanya berharap dunia masih memihak diriku yang tidak berdaya ini. Aku percaya Tuhan selalu membawaku ke jalan yang lebih baik.
Kulihat jam tangan di tangan kiriku, tidak sadar ternyata sudah hampir Maghrib. Sudah pukul 17.15 dan aku belum pulang ke rumah. Aku merapikan buku harian dan memasukkannya ke dalam tas selempang kemudian bergegas untuk pulang. Sedang buru-buru jalan kaki di trotoar niat hati hendak pergi ke halte, tiba-tiba saja sebuah mobil hitam membunyikan klakson dan berhenti tepat di sebelahku. Kacanya terbuka dan aku tahu dia siapa.
"Kamu baru pulang?" tanya dia.
"Iya, Kak. Tadi habis nongkrong dulu di taman. Aku duluan, ya!" Aku jawab dengan buru-buru karena memang aku sudah ditunggu. Gawat kalau aku pulang telat lagi.
"Aylin! Ayo aku antar, jam segini busway udah jarang. Nanti kamu kemaleman di jalan, mending aku antar kamu pulang, ayo naik!"
"Enggak apa-apa? Ngerepotin enggak?" Aku benar-benar tidak enak hati.
"Udah deh bawel, masuk!"
Dia Kak Andra, atasanku di kantor tapi dulu dia kakak kelas di sekolah. Lumayan akrab karena dulu aku sering mengunjungi perpustakaan hanya untuk membaca atau bahkan sekedar numpang tidur. Dia aktifis literasi di sekolah, mungkin sejak saat itu dia mengenal dan ingin berteman denganku. Pernah satu waktu dia bertanya apakah aku mau berteman dengannya atau tidak, tapi tidak pernah aku jawab. Tapi sekarang terjawab, dia jadi atasanku sekarang bahkan sepertinya mau tidak mau aku dan Kak Andra harus berteman.
"Jakarta kalo sore macetnya minta ampun!" Kak Andra mengoceh sambil beberapa kali melihat jam tangannya. "Kamu enggak dimarahin pulang telat?"
"Aku udah ditunggu sama Ayah. Tapi siapa yang peduli? Yang ada harusnya aku tanya kamu. Kenapa mau antar aku nanti dimarahin ayah aku lagi."
"Dimarahin ayah kamu bukan sesuatu yang nakutin, kayaknya aku lebih takut kalau anaknya kenapa-kenapa di jalan pulang haha!" Kak Andra tertawa sambil mengacak-acak rambutku yang sudah sedikit lepek karena keringat.
Ada perasaan aneh ketika Kak Andra untuk pertama kalinya menyentuh aku selama kita kenal. Bahkan di hari biasanya, meskipun dia adalah atasanku di kantor dia tidak pernah sekalipun menyentuh meski hanya berjabat tangan. Aku menunduk dan tersenyum sedikit, rasanya aneh. Tidak berselang lama, dering ponselku berbunyi dari dalam tas. Aku segera mengangkat telepon itu yang tentu saja berasa dari orang yang paling aku benci.
"Aku lagi jalan pulang, macet!" Aku langsung menyambar tanpa mengucapkan salam. Kak Andra memintaku untuk mengeraskan suara telepon itu. Lalu ku tekan tombol loud speaker-nya.
"Beli makanan, saya lapar! Ibumu juga tidak bisa diurus, muak sekali saya!" Dengan nada kerasnya seperti biasa ayah hanya menjadikanku mesin uang dan mesin-mesin lainnya. Urusan rumah semuanya aku yang kendalikan.
"Kalau muak kenapa ayah pulang lagi? Bukannya banyak perempuan jalang ayah?!"
"Ah sudahlah, tahu apa kamu soal hidup saya? Tidak usah membantah orang tua, dasar anak durhaka!" Kalimat terakhir yang sudah biasa kudengar.
Sekuat tenaga aku menahan tangis setelah telepon itu berakhir. Kak Andra hanya mengelus bahuku berusaha menguatkan aku. Mungkin dia bingung harus menanggapi seperti apa, tapi dia pernah bilang kalau dia tidak akan meninggalkanku sendirian. Aku hanya menoleh ke jendela mobil, melihat jalanan yang sudah lengang dan gedung-gedung dengan lampu gemerlapnya. Di fly over, tiba-tiba Kak Andra menurunkan jendelanya, "Biar ada angin, siapa tau mau liat lampu kota juga di atas fly over ini. Aku ga akan ngebut kalau kamu mau nikmatin anginnya."
"Makasih, Kak," ucapku pelan.
"Sama-sama, Lin."