Banyak hal yang terungkap ketika aku setinggi pantat ibuku.
Yang pertama adalah budaya keluarga. Dengan Date sebagai marga, aku mulai diajari cara yang benar untuk membenci mereka yang bermarga Eva. Bahkan ibu sendiri yang turun tangan menjadi guru agar aku bisa menciptakan kejahatan sempurna—setidaknya menyebabkan satu dari sekian anggota keluarga Eva mengalami darah tinggi lalu mati, alias kejahatan tanpa barang bukti.
Alasannya, ibu tidak ingin aku secara tidak sengaja bersikap baik pada mereka. Jadi sebagai putra yang berbakti, aku mulai menargetkan si bungsu Eva yang sebaya denganku.
Ire namanya.
Dusta saja, dia bocah biasa. Sepasang matanya sekecil kelereng berwarna biru langit, lalu hidungnya pesek dan bengkok dengan sudut sekitar 105 derajat. Untuk kulitnya sendiri, segelap bulan purnama di langit malam.
Singkatnya, buruk rupa.
Aku sudah mendaftarkan segala kekurangannya di kepala, baik nyata atau rekaan semata. Akan tetapi, mulutku memilih untuk tidak bekerja sama. Jadi alih-alih membuatnya menangis, ia justru mengulas senyum yang menyesakkan dada.
Aku melaporkan kejadian hari itu pada ibu segera setelah gagal merealisasikan ide kejahatan berencana. Untungnya, ibu tidak murka. Ia justru menyemangati anaknya agar pantang menyerah. Salah satu caranya adalah dengan mengungkapkan rahasia dua keluarga yang selama ini ditunda—seolah itu bisa menjadi motivasi agar aku lebih rajin menabung dosa.
Mitologi Mata Dewa.
Itu judulnya.
Lebih jadul dari pakaian manusia purba.Untuk tokoh utama, tentu saja Date dan Eva.
Dengan kata lain, ini adalah akar kebencian sekaligus awal mula permusuhan sengit di antara dua keluarga.
Ngomong-ngomong, aku lupa ibuku adalah tokoh politik dengan mulut buruk. Hampir semua teman-temannya merupakan pendongeng yang baik—kecuali paman Baen yang mulutnya dijahit. Jadi sepanjang dia bercerita, aku semakin mengantuk. Yang kuingat hanya dewa tak bernama itu berjanji akan memberikan hadiah pada salah satu dari dua nama. Hadiah itu berupa sebelah matanya yang bisa melihat masa depan.
Saat mendengar bagian ini, aku langsung curiga jika dewa tersebut tidak memiliki lisensi sebagai ahli bedah dan nenek moyang keluarga kami adalah korban malpraktek pertamanya.
Kesanku pada dewa satu ini semakin buruk setelah sikapnya yang sesuka hati memindahkan mata super itu—mari sebut saja demikian—pada salah satu anggota keluarga Eva generasi kedua. Baik waktu, usia, situasi dan keadaan, tidak ada yang memiliki pola. Motifnya benar-benar tidak terduga.
Lalu di generasiku saat ini, belum ada yang mewarisi mata super itu—atau itulah yang dipercaya oleh tetua keluargaku. Mereka masih memiliki harapan jika bukan anak-anak dari pihak sana yang lagi-lagi dapat dan dengan sengaja merahasiakannya.
Sebenarnya aku tidak peduli—selama itu bukan kemampuan yang bisa mengeluarkan laser dari mata—tapi sebagian besar keluargaku tidak satu suara. Barangkali ingin menyalahgunakan itu untuk menguasai Depara atau bahkan negara tetangga.
Untungnya, tidak semua Date merupakan pasien rumah sakit jiwa.
Masih ada beberapa yang tidak dibutakan oleh keserakahan, meski begitu, kebencian terlanjur ditanamkan sejak dalam kandungan. Mengubah pola pikir dan kebiasaan itu tidak pernah semudah membalik telapak tangan. Dalam hal ini, nyaris mustahil.
Nyaris.
Sebab seseorang yang tidak pantas dipanggil ayah, telah menjadi contoh pertama dalam hal mencintai darah Eva. Kemudian kakakku, Teria, memutuskan mengikuti jejak hinanya dan menjadi contoh kedua—tidak tanggung-tanggung, ia sampai menciptakan program kerja agar bisa melancarkan aksinya.
Tersisa aku dan ibu.
Tinggal kami berdua.Yang sama-sama menolak untuk menjadi contoh ketiga.

KAMU SEDANG MEMBACA
LIKE ME
Fiksi Remaja[ Writora : Take your world 2023 ] Ada satu mitologi terkenal di Tora yang menyebut dua keluarga sebagai tokoh utama: Date dan Eva. Berkisah tentang permusuhan abadi akibat memperebutkan "Mata Dewa". Lan bukannya tidak percaya, hanya saja ia secara...