"Selama membaca, kalian membayangkan visual Sadewa siapa sih? Author butuh rekomendasi nih😭 interlokal mau lokal, BEBAS.
....
Cuaca cerah menyambangi kota Jakarta tahun 1987. Jakarta yang tidak terlalu panas, namun padat penuh kesibukan. Dilain sisi, tepatnya dibawah pohon mangga yang tertanam dirumah orang lain, disitu Jihan melompat-lompat kecil berusaha menggapai dahan pohon yang tergantung sebuah mangga. Cerah cerah begini enaknya makan yang manis-manis, Jihan paling tidak tahan jika sudah melihat mangga.
"Gue nyesel gak dengar kata abang, untuk minum susu peninggi badan." Sesal Jihan.
Pantulan bayangan seseorang di belakangnya, membuat Jihan menoleh dan mendapati Sadewa yang tersenyum teduh kepadanya. Jihan memerhatikan wajah Sadewa yang mendongak keatas, tangan lelaki itu berupaya mengambil mangga itu. Tanpa sadar senyuman tipis terukir di wajah Cantiknya. Ia membalikkan badannya menghadap Sadewa. Lelaki blasteran itu memberikan satu mangga yang tadi Jihan inginkan.
"Makanya jangan pendek." Ejek Sadewa sembari terkekeh geli. Jihan tidak terima lantas mencubit bahu Sadewa hingga lelaki itu sedikit tersentak dan mengusap-usap bahunya. Sadewa mengerucutkan bibirnya, sumpah demi apapun, Jihan sangat ingin mengarungi Sadewa dan membawanya pulang kerumah kostnya.
"Dewa sudah mulai nakal sekarang, kalau nakal lagi, nanti Aku cubit seluruh badan Dewa, Mau?"
Percayalah, wajah Jihan terlihat seperti banteng yang hendak menyeruduk kain merah. Mengerti gerakan bahasa Jihan, Sadewa langsung menggelengkan kepalanya cepat, ia takut dengan cubitan genit Jihan. Sadewa menyatukan tangannya meminta maaf.
"Aku cuma bercanda."
Definisi berbicara tanpa harus bersuara. Dari sosok Sadewa, Jihan selalu belajar bersyukur dan mencintai diri sendiri. Jihan tidak mendengar suara lelaki itu dari telinganya, begitupun Sadewa. Mereka saling mendengar suara satu sama lain melalui hati, mata dan tubuh. Gerakan tangan lembut Jihan akan selalu menjadi bahasa favorit Sadewa.
.....
Suara berisik kendaraan yang saling membunyikan klakson, bagaikan sebagai pelengkap suasana perjalanan di Jakarta kedua kalinya bersama lelaki baik bernama Sadewa. Jihan mengajak Sadewa untuk berhenti sejenak dari rasa lelah akibat membantu Sadewa menjual koran-korannya. Perempuan itu mengibaskan rambutnya kegerahan. Wajah Jihan terlihat berminyak dengan kulit yang lembab akibat berkeringat.
Melihat Jihan kelelahan, Sadewa segera bertindak memberikan sahabatnya sebotol air minum. Tangan Sadewa tak hentinya bergerak menciptakan sebuah kalimat.
"Minum dulu, kamu pasti capek, maafin Dewa udah ngerepotin."
"Jihan, kamu duduk aja disini, jangan kemana-mana, Dewa mau pergi ke suatu tempat dulu, nanti Dewa kembali, kok. Gak lama."
Jihan mengangguk sembari tersenyum tipis. Netranya tidak luput memandangi Sadewa kendati lelaki itu sudah melenggang pergi menjauh dari tempat tersebut.
"Dewa! Jangan lama-lama ya ... Aku tunggu kamu disini!" Teriak Jihan saat punggung milik Sadewa semakin mengecil dan menghilang dari pandangan. Jihan tersenyum pedih.
Bolehkah Jihan marah terhadap semesta? Wahai semesta ... Kenapa kau menempatkan sosok setulus Sadewa di garis lingkaran terpedih ini? Kenapa? Apakah dosa Sadewa setara dengan mereka si pendosa mahal? Apakah Sadewa tidak ditakdirkan hidup penuh keadilan? Jika ini cobaan, apakah ini tidak keterlaluan.
Semesta yang tak pernah adil, jika ada setitik keadilan, maukah kau menganugerahkan sebuah suara untuk Sadewa? Setidaknya supaya lelaki itu bisa berteriak dan memaki setiap orang yang menyakitinya.
Lelaki itu kembali, Jihan tidak perlu takut. Sadewa adalah orang yang selalu menepati janjinya. Sadewa terlihat memegang sebuah bungkusan plastik biru yang didalamnya ada rujak buah dengan bumbu yang dipisahkan. Jihan bertepuk tangan riang, ia langsung mengambil rujak tersebut dengan senyuman merekah.
"Dewa duduk disini." Jihan menepuk-nepuk lantai semen yang sudah ia bersihkan. Mereka duduk di teras ruko yang sedang tutup. Melahap rujak tersebut sembari menghitung jumlah kendaraan yang lewat.
Sadewa menyuapi setusuk pepaya kemulut Jihan. Lelaki itu tertawa kecil mendapati noda sambal di pinggir bibir Jihan. Setelah puas lelaki itu tertawa, Sadewa menghilangkan noda tersebut menggunakan tangan kanannya. Tentu Jihan terkejut, namun perempuan itu berusaha bersikap biasanya. Jihan sedikit grogi, pasalnya ia tidak pernah melihat ukiran wajah Sadewa dari jarak sedekat itu.
"Jihan, sambalnya berserakan didekat bibir kamu. Aku izin bersihin ya."
Hati Jihan menghangat setiap menerima perhatian kecil dari Sadewa. Perempuan itu mengusap-usap pipi Sadewa yang terlihat lebam. Perasaan Jihan teriris, ia tidak mengerti mengapa orang sebaik Sadewa harus dibenci. Mengapa orang sepeduli Sadewa harus menerima luka seperti ini.
"Kenapa pipi kamu lebam, siapa yang mukul kamu?" Tanya Jihan menunjukkan wajah khawatirnya. Sadewa terdiam beberapa saat, ia menggeleng lemah, "Gak papa, aku hanya jatuh semalam."
Sungguh? Hanya orang bodoh yang mempercayai alasan terjatuh tersebut. Jihan tahu jika Sadewa sedang berbohong. Tidak mungkin luka lebam di sekujur wajah didapati kerena terjatuh. Namun Jihan tidak mau terlalu memaksakan Sadewa untuk bercerita kepadanya. Mereka baru kenal beberapa hari saja. Ia memilih untuk menunggu Sadewa sendiri yang menceritakan rasa sakitnya disaat ia sudah nyaman dengan sosok Jihan.
Mengalihkan pandangannya kesamping, Jihan mencebik kesal mengutuk siapa saja yang berani menyakiti Sadewa, "ckk, dasar bocah begadulan, gue akan bikin perhitungan sama lo." Monolog Jihan mengingat kembali kejadian semalam saat ia melihat beberapa remaja berandal yang merundungi Sadewa.
Bibir tipis milik Sadewa melengkung tatkala memerhatikan setiap inci wajah Jihan. Apakah lelaki itu sengaja, apakah ia tidak menyadari pipi Jihan yang merah merona akibat dilihat oleh mata teduh itu.
"Kamu cantik sekali, Jihan."
>°•°<
Terimakasih
SBELUMNYA, TOLONG FOLLOW TERLEBIH DAHULU AKUN AUTHOR!
JANGAN LUPA UNTUK VOTE DAN KOMEN CERITA INI.
SAMPAI JUMPA DI PART SELANJUTNYA
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadewa 1987
Teen FictionSUDAH END , PART LENGKAP Ibarat Bulan dan Matahari. Sampai dunia hancur pun, Tuhan tidak akan ngizinin mereka untuk bersatu. Karena pada dasarnya, mereka hanya berdiri sesuai masanya. Siang dan malam. Mereka berbeda, berbeda segalanya Sama seperti k...