Sebuah sendal jepit terlempar begitu saja mengenai kepala seorang remaja berseragam SMA. Remaja itu menoleh ke arah si pelempar sendal dengan wajah kesal sesekali mengusap-usap kepalanya.
Si pelempar yang tak lain adalah Jihan, bersedekap dada sekaligus menatap angkuh kearah remaja bernama Mardika.
"Maksud lo apa, Hah!?" Hardik Mardika menatap tajam kearah Jihan. Meskipun Mardika seorang laki-laki, tak memupuk rasa takut dibenak Jihan. Lelaki berengsek seperti Mardika layak diperlakukan seperti itu. Bahkan dilempari sendal terlalu ringan untuknya.
Sekilas, netra Jihan bertubrukan dengan wajah gelisah Sadewa.
Sebelum kedatangan Jihan, Mardika dan para anak buahnya menghadang jalan Sadewa dan mengganggu lelaki itu. Hal ini sudah menjadi rutinitas sehari-hari mereka, bahkan mereka sampai hapal jam keberapa Sadewa keluar dari rumahnya. Jihan tentu marah melihat Sadewa diperlukan seperti itu. Ia tidak bisa menyalahkan Sadewa, karena keterbatasan yang Sadewa punya, membuat lelaki itu kesusahan untuk meloloskan diri dari Mardika dan anak buahnya.
"Pergi Jihan. Mereka akan mencelakaimu nanti, aku baik-baik saja."
Sekiranya itulah yang disampaikan Sadewa saat Jihan tak sengaja meliriknya. Semua koran milik Sadewa telah berserakan ditanah dalam keadaan terkoyak. Bahkan keadaan lelaki itu pun terlihat miris. Sayangnya, komplek perumahan Sadewa tergolong masih sepi, berbeda dengan masa Jihan yang terlihat lebih padat dan ramai.
"Lo gak malu, gangguin Sadewa terus?" Tanya Jihan berani.
Mardika terkekeh singkat, "emang lo siapa dia, pacar?"
"Gak penting gue siapa, yang gue tanya kenapa lo betah banget gangguin Sadewa? Mau terlihat jagoan? Jagoan'kah gangguin orang yang sudah jelas tidak akan melawan?"
Semua pernyataan yang dilontarkan oleh Jihan sedikit membuat Mardika tertohok. Penampilan Mardika terlihat berbeda dengan pelajar pada umumnya ditahun ini. Ia terlihat nakal dengan seragam yang berantakan. Lebih cocok dikatakan sebagai preman daripada seorang pelajar.
"Hahaha ... Berani banget nih cewek," sahut anak buah Mardika. "Mending lo pergi deh, cewek tuh seharusnya dirumah saja, ngurus dapur! keluyuran kayak cewek gak benar!" Ketus Mardika.
"Mending lo belajar benar-benar deh, kasian orang tua lo," balas Jihan disertai wajah datar dan tatapan tak minat. "Jangan merasa keren jika gak bisa menghargai orang."
"Lo cari masalah sama orang yang salah!" Sela Mardika. Ia dan anak buahnya sekarang sejajar, mereka kompak menatap Jihan dengan pandangan remeh. Sadewa tak tinggal diam, lelaki itu berupaya menarik pergelangan Jihan untuk menjauh dari mereka.
"Jangan Jihan, mereka kasar, mereka akan nyakitin kamu nanti, lebih baik kita pergi saja."
Jihan menggeleng tidak terima. "Mereka udah ganggu kamu, mereka harus diberi pelajaran biar kapok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sadewa 1987
Roman pour AdolescentsSUDAH END , PART LENGKAP Ibarat Bulan dan Matahari. Sampai dunia hancur pun, Tuhan tidak akan ngizinin mereka untuk bersatu. Karena pada dasarnya, mereka hanya berdiri sesuai masanya. Siang dan malam. Mereka berbeda, berbeda segalanya Sama seperti k...