Bagai prolog yang tak merindukan epilog, suasana gaduh di rumah itu seakan tidak pernah menemukan titik temu. Seakan masalah silih berganti tanpa pernah kelelahan. Pagi bertemu siang - siang bertemu petang - petang bertemu malam - hingga malam kembali bertemu fajar.
Malam itu, ditemani dingin rintik hujan yang menusuk, seorang gadis kecil menyaksikan bagaimana darah mengucur dari pergelangan tangan gadis lain, bagaimana menyaksikan gadis yang ia sebut kakak itu meringkuk sesegukan, bagaimana ia merasa iba tetapi tak pernah merasakan sakitnya. Gadis kecil itu masih belum mengerti banyak hal. Ia sama sekali tidak pernah mengerti tentang apa yang dilakukan orang dewasa.
Sementara di luar kamar kedua gadis itu terdengar perkelahian, perdebatan, bahkan makian. Entah sudah berapa banyak pecahan piring, gelas, bahkan alat-alat lain yang pecah berhamburan. Gadis kecil itu hanya diam, berusaha mencerna mengapa sang kakak selalu gemetar setiap kali orang tuanya bertengkar. Sesekali ia akan menenangkan si gadis kecil, sesekali juga ia akan tiba-tiba menggoreskan benda hitam kecil pada pergelangan tangannya.
"Nara," panggilnya lemah kepada sang gadis kecil yang ternyata bernama Nara. Sang empunya nama hanya membisu dengan bola mata yang membola.
"Kemarilah, Nara!" ucapnya lagi untuk meyakinkan sang adik. Kali ini gadis kecil itu bergerak perlahan menghampiri sang kakak. Ia kemudian merasakan tubuh sang kakak yang begitu dingin memeluknya. Situasi seperti ini sebenarnya sudah biasa terjadi, orang tuanya bertengkar, mereka berdua mengurung diri di kamar, serta sang kakak yang selalu ketakutan. Tapi ini tidak seperti biasanya, pasalnya tubuh sang kakak benar-benar dingin. Ia merasakan tubuh sang kakak menangis hingga bergetar begitu hebat sembari memeluknya. Ia juga menyaksikan jika darah yang keluar dari pergelangan tangan kirinya tidak seperti biasanya, ini terlalu ... banyak?
Nara benar-benar merasa takut menyaksikan darah yang tak henti-hentinya kengucur. Rasanya ia ingin mengusapnya, tapi ia benar-benar ketakutan. Kini ia hanya mampu menangis keras sembari melepas pelukan sang kakak. Ia benar-benar takut, padahal ia tak tahu apa yang sedang terjadi. Sang kakak sudah tidak mengeluarkan suara, ia hanya
membelai anak rambut adiknya dengan senyum tulus terakhirnya. Nara benar-benar tidak menyangka jika hari itu adalah hari terakhir dia bertemu dengan kakaknya—April.**
Hello! Maaf ya kalo kurang menarik. Sebenarnya cerita ini aku buat dadakan karna lagi pengen nulis aja buat diri sendiri. Kalau pun ada yang baca, hope you enjoy ya guys!
Xaxa, hihi.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU BANYAK LUKANYA!
Teen Fiction"Jika kau hanya datang untuk menyakiti, tak perlu repot-repot! Hidupku sudah penuh luka", -Nara