Dari bawah tebing, angin berhenti menderu. Suara obrolan kedua dewa di atas sana tidak lagi terdengar. Bai Suzhen mendecakkan lidah. Apa yang dikatakan Dewi Bulan? Kedua dewa itu masih berdiri saling berhadapan. Para peri yang masih dikurung dalam bola kabut saling memprotes. Suara mereka beradu dan berseru-seru minta dibebaskan.
Percuma juga, pikir Bai Suzhen. Mau menunggu pun, paling-paling ia hanya akan membuang waktu dan kedua dewa yang lain pasti bakal menemukannya kalau ia tidak segera pergi dari sini. Namun, ketika Bai Suzhen menatap berkeliling, ia hanya menemukan tebing-tebing tinggi dan puncak gunung samar-samar di antara pepohonan.
"Keluarkan kami kau siluman!"
"Jangan beraninya dengan peri kecil seperti kami. Cepat lepaskan kami!"
"Aku akan mengadu pada Dewa Kunlun kalau kau wanita jahat sedang berusaha membunuh kami!"
Bai Suzhen menatap jengkel ke arah peri-peri kecil yang berterbangan dengan sayap bening mereka. Wujud mereka kecil seukuran jari kelingking namun sekujur tubuh mereka bersinar seperti kunang-kunang. Bai Suzhen menguatkan lapisan kabut menggunakan kekuatannya lalu mendesah panjang.
"Aku tidak akan membunuh jika kalian memberitahuku ini tempat apa," kata Bai Suzhen lurus. Ia sedikit pergi menjauh dari tebing. Memasuki hutan dan melangkah hati-hati.
"Cih, kau tidak tahu ada di mana? Lalu kenapa kau kemari?" tanya salah satu peri.
"Aku dikejar oleh tiga dewa. Berlari sampai tidak tahu tujuan dan tiba di sini."
"Tentu saja kau dikejar. Mereka mengenali aroma iblismu," kata peri yang lain. Sambil melangkah, bola kabut melayang di atas tangan Bai Suzhen yang mengendalikannya.
"Benar. Namun, kenapa aku seperti mencium aroma yang lain?"
"Aromanya cukup hangat, seperti aroma energi cahaya."
"Eh, apakah kau setengah dewa?"
"Siluman setengah dewa!"
"Terkutuklah kau!"
Bai Suzhen melotot ke arah mereka. "Aku bukan setengah dewa! Aku hanya siluman. Dan jika kalian berani bicara yang lain, aku tidak segan-segan membunuh kalian," sembur Bai Suzhen penuh ancaman. Para peri saling bergerumul, ketakutan.
Walaupun seharian ini ia merasa kelelahan—Bai Suzhen masih harus menjaga citranya sebagai keturunan Iblis. Sesekali ia teringat Pusaka Iblis yang hampir dicabut oleh gurunya. Entah mereka tahu Bai Suzhen sekarang terdampar di Tanah Cahaya, namun ia belum pernah bertarung sampai selelah ini.
"Katakan, ini di mana?" Bai Suzhen melangkah, melewati semak-semak belukar dan tanah bebatuan. Tak jauh dari sana, terdengar bunyi air mengalir. Aroma dingin dari air merasuki hidungnya. Tenggorokannya terasa kering. Ia mendekati sungai dan menyeka wajah lalu menangkup air dengan dua tangan, meminumnya.
"Ini Gunung Kunlun. Eh, wanita siluman, bagaimana ceritanya kau bisa ada di sekitar sini?"
"Ah! Apakah kau diutus oleh Ratu Iblis untuk membunuh Dewa kami?"
"Aaaah!" para peri mulai menjerit histeris dan berlebihan.
Dalam hati, Bai Suzhen memang berencana demikian. Tapi melihat keadaan malam ini terasa tenang, rasa lelah yang menyelimuti sekujur tubuhnya membuatnya ingin berbaring dan istirahat.
Di Tanah Iblis, Bai Suzhen tinggal di dalam istana. Selalu ada pelayan yang menanyakan kebutuhannya. Karena sudah dianggap anak sendiri oleh sang Guru, Bai Suzhen mendapatkan banyak pelayanan sendiri. Namun, sejak ia gagal kultivasi, Bai Suzhen sering diam-diam berkeliling hutan. Di Tanah Iblis, hanya ada Hutan Kematian yang jaraknya dekat dengan istana. Meskipun Hutan Kematian dan hutan Gunung Kunlun cukup berbeda, entah kenapa, hutan ini lebih cepat membuat hatinya tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romance Between the White Snake and the Prince
FantasyCompleted. [Retelling Chinese Mythology] Bai Suzhen, siluman ular putih yang cantik harus mendapatkan kembali kepercayaan gurunya-Mo Lushe dan membuktikan bahwa dirinya tidak akan mengkhianati Tanah Iblis. Gara-gara energi cahaya yang tidak sengaja...