Bagian 1

23 2 0
                                    

"Kadang kita tidak bisa menjadi sesuatu terlebih dahulu, hanya karena ingin menjadi prioritas." 

Dia adalah jelmaan buku di penghujung rak, terkesan membosankan tapi aku ingin segera memilikinya. Aku tenggelam di bola mata jernihnya yang menggulirkan lembaran manis bayangan masa depan. Dia lagi sibuk sendiri di bangku perpustakaan. Berkutat dengan catatan rumus matematika yang berserak di atas meja, tanpa peduli apakah aku masih ada di sampingnya atau tidak.

"Kayanya aku harus serumit algoritma dulu deh biar dipikirin terus sama kamu!" Aku mengembuskan napas.

Dia menoleh sambil mengacak gemas rambutku seraya bertanya, "Kamu nggak baca buku?" Aku menggeleng. "Ambil buku di rak, kasian dianggurin." Matanya melirik barisan rak.

"Aku dianggurin nggak kasian?" tanyaku balik, langsung mendapatkan respon tak asing. Telapak tangannya meraup wajahku sekilas tanda kesal sekaligus gemas.

Lebih baik aku berjalan mengitari banyaknya deretan rak buku daripada harus duduk bareng cowok pengatur seperti dia. Namun aku melihat beberapa cewek berbisik sambil melirik ke arahnya. Aku harus segera kembali ke sampingnya sebelum ada makhluk genit lain yang berani mendekatinya.

Saat aku kembali duduk dan membuka halaman buku, mungkin dia tidak menyadarinya, sementara aku kaget karena ternyata benda yang kuambil asal ini berisikan bahasa Jerman. Tak peduli, yang penting kelihatan baca buku.

Aku kepergok lagi memperhatikannya dan segera kualihkan perhatianku pada lembaran buku yang tak aku mengerti. Tiba-tiba dia mencabut benda itu dari tanganku disertai gelengan kepala. "Jenius banget kamu bisa baca buku kebalik, bahasa Jerman lagi!" sindirnya. Aku mengepalkan telapak tanganku karena kesal sendiri salah pegang buku.

"Kamu niat gak sih baca buku?" tegurnya. Aku malah heran, kenapa dia yang kesal?

"Jujur nggak niat, jadi aku pergi aja ya, kebetulan Aura spam chat terus dari tadi nyuruh nyamperin."

"Jangan dong, masa gitu aja kamu baper?"

"Sekarang nuduh? aku nggak baper!"

"Ya udah kamu diem temenin aku!"

Aku duduk lagi. Perasaan buruk semakin menjadi ketika mendapat pesan dari Aura berisikan screenshot tentang obrolan grup cewek yang bercerita kalau dirinya merasa bahagia bisa keterima masuk club yang diketuai sama cowok aku dan satu foto yang dikirim menunjukkan bagaimana rupa cewek itu berhasil bikin aku insecure.

"Permisi Kak." Sebuah suara muncul di tengah keheningan. Kita sama-sama melirik ke sumbernya. Seorang cewek berdiri di hadapan kami sambil menjulurkan ponselnya. Salah satu gadis lain yang menyusul berusaha mendorong bahunya agar lebih gerak cepat. "Maaf mengganggu Kak, boleh minta follback Instagram-nya buat salah satu syarat wajib setelah dapat pengumuman lolos club matematika?"

Mendengarnya, darahku serasa mendidih, mengalir seakan ingin menyembur cewek itu lewat mulut dan mataku yang terbuka lebar. Cowok di sampingku dengan enteng menyahut, "boleh" sambil membuka ponselnya sendiri untuk menerima permintaan pertemanan cewek itu, di hadapanku, ya, di hadapanku!

"Emang ada ... siapa sih yang bikin aturan kayak gitu?" interogasiku tidak bisa menahan diri. Dua cewek itu langsung kaget disertai keheranan.

"Kenapa? kamu pacarnya?" tanya cewek satu lagi. Aku dan cowok ini lirik-lirikkan.

"Bukan," sahut cowok ini membuatku semakin lega untuk mengeluarkan segala jenis magma dari dalam perutku, rasanya aku ingin berubah menjadi naga dan menyemburkan api sama mereka. Apalagi saat melihat kedua cewek itu langsung kesenangan dan memberi banyak bombastic side eye kepadaku.

MYSTIFICATIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang