Baru pada hari ke-empat kepulangan dari Paris, demam tinggiku mereda. Setelah bertengkar dengan Deva usai sarapan tempo hari, aku benar-benar jatuh sakit. Mungkin alam bawah sadarku meraba adanya kelelahan lahir batin. Selain karena hawa dingin Paris yang mungkin membuat suhu tubuh anjlok.
Masuk angin, tengsin sekali. Tapi mau bagaimana lagi. Manusia mana yang mau sakit begini?
Ada baiknya juga, sebenarnya. Aku memang perlu mengistirahatkan diri sejenak dari semua, tak ingin memikirkan apa-apa.
Dua hari penuh aku bermesraan dengan tempat tidur. 2 orang asisten sigap menungguiku dari pagi hingga sore. Baru selepas Deva pulang dari kantor, mereka bebas. Ditengah lelah dan penatnya pekerjaan kantor, Deva masih bersedia menungguiku dan berjaga-jaga jika aku membutuhkan apapun, seolah tak pernah terjadi pertengkaran terakhir itu di antara kami.
Diam-diam aku terharu sekaligus malu. Selalu mencari celah dan keburukan Deva, dengan alasan sama sekali belum mengenalnya. Padahal jika dipikir, tak jarang aku membuatnya kesal, ia selalu memaafkan dan bersedia melupakan.
Keadaanku berangsur membaik setelah dokter keluarga yang tak lain adalah ayah Dania, datang ke rumah. Ditemani oleh ibu mertua dan juga Deva, ia memeriksa kondisiku secara menyeluruh.
"Hanya perlu istirahat, terlalu lelah saja. Jangan banyak pikiran. Saya akan berikan vitamin. Atau mau dikasih resep vitamin untuk pengantin baru?" Deva hanya tersenyum sopan ketika dokter itu meliriknya. Sang dokter rupanya cukup humoris. Berbeda sekali dengan anaknya.
Aku menebak-nebak. Tahukah ia akan skandal putrinya dengan aku dan Deva?
"Tapi mungkin tidak, kalau menantu saya hamil, Dok?" tanya ibu mertuaku ketika sang dokter tengah menulis resep di secarik kertas. Ia membetulkan letak kacamatanya yang melorot sebelum menjawab.
"Belum bisa dipastikan, Wulan. Mereka baru saja menikah seminggu yang lalu. Sabarlah," ia setengah menegur.
"Ah ... ya." Ibu mertuaku menghela napas pasrah, sementara aku dan Deva saling lirik diam-diam.
Seketika saja aku ingin bersembunyi selamanya di dalam selimut.
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
Kami meluncur di jalanan ibukota yang padat merayap. Menyusuri rute Kuningan, menuju arah Ampera. Dengan sopir baru yang direkrut ibu mertuaku, khusus untuk mengantarku kemana pun.
Aku duduk di kursi belakang sebuah BMW Alpina berwarna chrome, yang pajak per-tahunnya bisa untuk membeli sebuah mobil lagi. Di sebelahku, duduk manis seorang gadis berusia 27 tahun. Berkacamata, dengan pembawaan ramah dan murah senyum.
Namanya Lusy. Asisten yang ditugaskan oleh ibu mertuaku untuk mendampingiku kemana pun seolah aku penyandang disabilitas. Lusy, gadis dengan penampilan rapi dan hasil pekerjaan yang kabarnya, sempurna. Ia salah satu staff dengan kinerja paling baik di kantor.
Dan aku merasa ia sedang menyia-nyiakan dirinya dengan berada bersamaku.
"Nanti kamu tunggu saja di mobil. Atau kalau mau berkeliling dulu dengan Mas Sandy juga tak masalah. Jemput aku sekitar satu jam kemudian."
Tapi responnya itu, seolah aku baru saja mengatakan akan mengurungnya dalam ruangan hampa udara.
"Tidak usah, Mbak," sahutnya terkesiap. "Saya menunggu saja. Kata ibu, saya harus menemani Mbak Hani kemana pun. Harus selalu siap jika dibutuhkan," ia menolak mentah-mentah.
"Ya sudah, tunggu saja di mobil kalau begitu."
"Biarkan saya ikut Mbak saja."
"Aku akan menghubungi dengan telepon kalau sekiranya membutuhkan bantuanmu," kataku mulai kesal. Masa iya dia mau mengekorku ke dalam kantor dan bertemu Dona?
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Cinderella
RomanceRahania Calandra, terpaksa menjajakan ginjalnya dengan harga 150juta kepada para pengusaha, untuk membayar kehilangan mobil perusahaan ekspedisi di mana ia bekerja dan bertanggungjawab. Namun, alih-alih membeli ginjalnya, seorang pengusaha muda bern...