"Daren!"
Seorang lelaki dengan dua telinga yang tersumbat headset, mendengus kesal tepat sedetik setelah mendengar suara gadis yang membuat telinganya berdengung lama.
"Ver!" sebelah tangan Daren bergerak menarik ujung rambut gadis di sampingnya dengan gemas. Kesal karena suara Verin terdengar begitu nyaring di telinganya.
"Kalo sampai gue budeg, lo yang kudu bayarin pengobatan THT gue," ancam Daren sembari mengusap-usap sebelah telinga.
Verin –seorang gadis dengan rambut dikuncir rapi, menyisakan poni yang menyelip di belakang cuping telinganya– hanya menunjukkan cengiran lebar.
"Lo lagi apa? Kenapa gak ke kantin?" ujar Verin sembari memaksa Daren untuk bersedia menggeser sedikit posisinya.
Daren hanya berdecak kesal, meski kemudian bersedia untuk berbagi bangku dengan Verin.
"Baru kelar salin PR."
Verin hanya mengangguk-angguk mengerti.
Merasakan satu kejanggalan, dahi Daren berkerut bingung. Memandang Verin dengan tatapan penuh selidik.
"Lo ngapain di sini? Pergi ah. Gue males berantem sama Ryan."
Mendengar pengusiran Daren, sebelah tangan Verin bergerak menggamit lengan Daren dengan erat. Gadis itu menggeleng keras.
Daren hanya mampu menghela napas panjang.
"Gak mau. Gue ogah kumpul sama temen-temen Ryan. Mau sama Daren aja, boleh?"
Mendengar Verin yang merajuk, Daren mendengus kecil, berusaha menyembunyikan senyumnya yang tertahan.
"Tapi kalo sampai lo brantem sama Ryan, gue gak tanggung ya."
Verin tersenyum lebar, ia mengangguk sekali sembari mengeratkan genggamannya pada lengan Daren.
*****
"Gue capek, Ren."
Di sebelah Verin, Daren hanya menghela napas panjang, tersenyum simpati.
Sebelah tangan Daren bergerak melingkar di bahu Verin yang berbalut jaket berwarna putih. Telapaknya mengusap-usap lengan Verin.
Seperti biasa, diperlakukan seperti itu oleh Daren, Verin refleks merebahkan kepalanya pada bahu Daren.
"Gue capek berantem terus," lanjut Verin.
"Namanya pacaran juga pasti berantem, Ver. Wajar."
Verin menghela napas sebentar. "Tapi gue jadi gak bebas. Gue gak boleh pergi sama temen-temen gue yang lain. Kemana-mana harus sama dia."
Mendengar Verin mengeluh mengenai hal yang sama, Daren hanya tersenyum tipis. Ia mengeratkan lengannya yang melingkar pada bahu Verin. Semakin mendekatkan jarak di antara mereka.
"Daren kenapa gak cari pacar aja sih?" Verin membuka suara lagi setelah menyadari Daren tak memberi respon atas keluhannya tadi.
"Gak."
Dahi Verin berkerut bingung. "Gak?"
"Gue udah hampir dua tahun sama Ryan, Daren. Dan lo masih aja sendiri." Telunjuk Verin bergerak-gerak menekan lutut Daren.
Gue gak pernah sendiri, Verin. "Gak apa, Ver," tukas Daren singkat.
Verin hanya mampu menghela napas panjang. Menyamankan kepalanya yang masih rebah di bahu Daren.
*****
Selisih beberapa meja dengannya, Daren mendapati Verin berada di tengah-tengah kerumunan siswa anggota klub basket, dengan wajah yang tertekuk bosan. Melihatnya, Daren hanya menghela napas panjang.
YOU ARE READING
Leave Your Lover
Short StoryJika tak bisa bahagia dengannya, larilah padaku. Aku akan menangkapmu, memelukmu dalam kokoh kedua lenganku.