Begitu waktu menunjukkan pukul 12 malam, hanya ada beberapa orang terdekat keluarga Fernandez saja yang masih bertahan di acara ini.
Irene sendiri sudah mau pamit kalau saja pasangan Susilo dan Widya itu tidak membujuknya untuk tinggal lebih lama lagi.
Keluarga terdekat berkumpul untuk sekadar bermain kembang api dan menikmati jagung bakar, Irene memandang dengan senyuman dari roof top, melihat bagaimana percikan api terlihat begitu indah di langit malam.
"Cantik, ya?" Saddam hadir dengan meletakkan jasnya ke bahu Irene.
"Makasih."
"Saya ngomongin kembang apinya lho, Ai."
"Saya bilang makasih buat jasnya kali, bukan karena ge-er!"
Saddam tersenyum manis. "Coba lihat ini."
Irene melirik. Surat Identifikasi DNA. Itu yang tertulis paling atas dari selembar kertas yang disodorkan.
"Gak usah."
"Kenapa? Kamu benar-benar udah gak peduli ya?"
"Bukan, cuma ngga usah, saya ga perlu tahu."
"Tolonglah, Ai…" bujuknya dengan puppy eyes.
Irene mengalah, enggan melihat drama menyebalkan dari pria itu. Pada akhirnya ia memilih membaca, sepersekian detik berikutnya Saddam bertanya,
"Gimana tanggapannya?"
"Gak gimana-gimana," katanya, sambil menyerahkan kembali kertas di tangan.
"Kamu ... beneran benci sama saya, ya?"
Riuh rendah suara orang-orang yang berbincang di bawah sana seolah diredam, ia was-was menunggu jawaban.
"Gak ada alasan buat saya benci sama kamu." Irene merapatkan jas di tubuh. "Kalaupun saya gak diberitahu mengenai ini, atau kalau memang dugaan waktu itu benar, saya tetap gak punya hak untuk benci."
Saddam sudah akan menyela untuk segera bicara—menyampaikan isi hatinya, agar Irene tahu bahwa dia; Irene, merupakan orang penting di hidupnya—yang selalu punya alasan untuk protes ataupun menuntut penjelasan terhadap apa pun itu. Sayangnya, Irene sudah mengangkat telapak tangan—pertanda menyuruh diam, jangan menyela, karena dia belum selesai bicara.
"Saya mengerti bahwa kamu sudah tau, atau mungkin sudah bisa mengambil kesimpulan dari apa yang kamu lihat dalam ruangan pribadi saya. Mungkin kamu mengira bahwa saya akan sakit hati—karena saya terlihat jatuh cinta—pada kamu yang terlibat masalah sama Chelsea. Sebenarnya, kalau boleh jujur, saya tidak merasa sakit, sudah bertahun-tahun menghadapi perasaan saya sendirian, sudah sangat terbiasa. Kalau kamu mau tau gimana rasanya jadi saya ... gak gimana-gimana. Saya sekadar menyimpan rasa untuk seseorang yang tidak mengingat saya.
"Kabar waktu itu tidak pernah mengusik saya, atau mungkin saya terlalu hebat menampiknya sampai-sampai saya lupa apakah kemarin saya sempat kecewa?
"Sekarang, sebenarnya tanpa kamu kasih tau isi surat ini pun, saya sudah dapat mengambil kesimpulan. Beberapa waktu lalu, secara tidak sengaja saya bertemu Chelsea, kami sempat bicara, dan dari sana saya sudah mengerti bahwa di antara kamu dan dia, tidak terlibat hal yang tabu. Jadi, tidak perlu repot-repot lagi untuk menjelaskan."
Irene menutup penuturannya dengan senyuman tipis.
Saddam tercengang, antara bahagia atau kebingungan. Baru tadi siang ia kenyang omelan Irene, malam ini perempuan itu malah bicara sangat lembut. Kalau Saddam tak punya pertahanan diri yang kuat, mungkin akan segera memeluk perempuan itu erat seakan tak ada hari esok.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Selfie Dulu, Pak!
HumorSebenarnya, Saddam dan Irene tidak cocok untuk dikatakan sebagai bos dan karyawan. Keduanya gemar menjahili satu sama lain. Bahkan kejahilannya bisa sampai tingkat 'hehehe' alias tidak terdeteksi lagi levelnya. Barangkali, Saddam terlalu sering mend...