"Ki?"
Kirania menoleh. Dia melihat Cakra yang kini sedang berdiri di belakangnya. Gadis itu hendak membeli kopi untuk menemaninya lembur sore itu di kantor. Lotus Café menjadi pilihannya karena lidahnya sangat cocok dengan kopi racikan barista di sana.
Kirania tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa kepada Cakra. Dia pikir dia tidak perlu banyak berbicara pada laki-laki itu. Untuk apa? Untuk mengenyahkan perasaan aneh yang semakin sering ia rasakan. Membohongi diri sendiri adalah hal yang sedang ia lakukan tanpa sadar.
"Kemarin lo... pergi ke mana?" tanya Cakra dengan nada yang kentara sekali sangat berhati-hati.
Kirania mengambil kopi pesanannya dan menggeser tubuhnya ke samping. Cakra kemudian maju dua langkah dan segera menyebutkan pesanannya kepada seorang kasir perempuan di depannya. Setelahnya, dia kembali fokus dengan gadis yang sedang meminum es kopinya dengan tenang.
"Ki?" dia kembali memanggil Kirania yang masih belum menjawab pertanyaannya.
Kirania menatap Cakra dan tersenyum. "Gue kemarin dijemput sama Harsa terus kami pergi karena memang ada acara. Kenapa memangnya?" Kirania mengerutkan kening pura-pura penasaran.
Cakra tersenyum. "Gue kemarin nyari lo karena gue kira lo balik ke pesta waktu gue ke toilet ternyata enggak ada lo di sana. Lo pergi tanpa pamit ke gue jadi gue..." Cakra menggaruk keningnya sekilas. "Tanya sama lo sekarang," lanjutnya.
"Gue nggak pamit soalnya buru-buru banget kemarin. Lagipula kayaknya gue nggak perlu pamit. Ada cewek lo di sana, gue nggak enak kalau ganggu acara kalian peluk-pelukan." Kirania tertawa. "Kita ini teman baik jadi jangan terlalu mikirin hal-hal semacam ini." Arinda sedikit mengangkat dagunya karena merasa dia sedang berada di atas angin.
Dia berhasil mengobrol dengan elegan dan dia berhasil mengalahkan keinginan hatinya untuk bertanya kepada Cakra tentang kenapa laki-laki itu tidak menjelaskan kepadanya mengenai pelukannya dengan Eriska. Kirania hanya akan menanggung malu jika dia nekat bertanya. Eriska adalah pacar Cakra jadi dia harus bisa menahan diri dengan baik.
"Oh!" Cakra mengangguk.
Dia menerima pesanannya dan mengucapkan terima kasih kepada kasir yang memproses pesanannya itu. Kirania berjalan pelan sampai Cakra juga ikut berjalan di sampingnya. Laki-laki itu tidak mengatakan apa-apa lagi sampai mereka tiba di luar kafe. Kirania mendengus di dalam hati. Memangnya apa yang akan mereka obrolkan? Kirania tidak memiliki bahan obrolan dengan Cakra untuk saat ini.
"Gue balik ke kantor dulu, ya!" kata Kirania sambil tersenyum ramah.
Cakra mengangguk dan ikut tersenyum. Setelahnya mereka berpisah di depan kafe tersebut. Kirania sampai di kantornya dan menemukan sebuah kantong plastik dengan logo salah satu restoran yang cukup terkenal di Jakarta. Dia mengerutkan kening dalam.
"Siapa yang beli ini?" tanyanya di dalam hati sambil menatap barang di atas mejanya itu.
"Kenapa lo?" Rora datang sambil membawa dokumen.
Gadis itu meletakkan dokumennya ke atas mejanya kemudian menghampiri Kirania yang masih diam di kursinya menatap bungkusan itu. Rora tertawa geli. Dia menepuk pundak Kirania dan menunjuk bungkusan di depan mereka dengan dagunya.
"Selamat, ya! Gue nggak nyangka kalau lo udah punya pacar," ucap Rora. "Pantas aja lo nggak tertarik sama Cakra," lanjutnya.
Kirania melotot dan meraih bungkusan itu kemudian membukanya dengan cepat. Dan dia menemukan secarik kertas dengan tulisan tangan di atasnya. Dia menunjukkannya kepada Rora dengan wajah kagetnya. Ya, ini adalah kali pertama Kirania mendapatkan kiriman makanan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Sendu
Lãng mạnKirania pikir, menjadi sahabat dari seorang Cakra Aryasatya Wijaya saja sudah cukup. Kenyataannya, seiring berjalannya waktu, perasaannya tumbuh dan semakin lama semakin mencekik. Sampai akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya ke...