23. My Diamond

102 10 9
                                    

Kita adalah dua orang yang mempunyai nasib sama tetapi dengan kisah berbeda.

-Anandraka Agam Gentala.

Nyatanya, bahagia itu cuma buat orang-orang beruntung.

-Alisya Calista Graham.

*****

Ruangan serba putih itu kini hanya menyisakan Venus, Raka dan juga Alisya yang masih tertidur pulas. Jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Anggota inti Airon lainnya sudah pulang terlebih dahulu karena besok harus bersekolah. Namun berbeda dengan Raka, cowok itu masih tetap berada di sana untuk menjaga berliannya.

"Lo nggak dicariin sama nyokap lo?" Tanya Venus khawatir. Pasalnya, ia sudah sedari tadi menyuruh Raka untuk pulang saja tetapi cowok itu masih teguh pada pendiriannya. Lagipula, disini ada dia yang akan menjaga Alisya.

"Nyokap gue udah nggak ada," balas Raka datar. Cowok itu merebahkan tubuhnya di atas sofa lalu memejamkan matanya yang terasa sangat berat. Jujur, ia sangat mengantuk sekarang.

"Eh, sorry, sorry," ujar Venus merasa bersalah. Sungguh, ia tidak ada maksud untuk bertanya seperti itu.

Ddrrrtt ddrrtt

Handphone yang berada di saku jaket Raka sedari tadi tak berhenti bergetar. Mungkin, sejak satu jam yang lalu benda gepeng itu terus bergetar tanda adanya panggilan masuk. Ia tahu, itu pasti telepon dari Ayahnya. Cowok itu sengaja tidak menjawab telepon darinya kerena suatu hal. Karena ia tahu, apa alasan Ayahnya itu menelponnya selain menyuruhnya pulang.

Ada banyak hal yang Raka sembunyikan dari kita semua.

"Ck!" Lama kelamaan, Raka kesal sendiri saat benda menyebalkan itu terus bergetar. Ia berjalan keluar ruangan sebelum menjawab telepon dari Ayahnya. Setelah berada di luar, barulah ia menjawab panggilan yang entah sudah kesekian kalinya. Ia menempelkan benda gepeng tersebut ke samping telinga.

"DIMANA KAMU, RAKA! KAMU MENGINGKARI JANJI YANG TELAH KAMU BUAT DENGAN AYAH! BERANI PERGI DARI TANGGUNGJAWAB SEKARANG!?"

Raka sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga. Suara bariton milik Ayahnya itu terdengar memekikkan telinga. Ia memejamkan matanya yang terasa begitu berat sebelum menjawab.

"Maafkan saya karena telah melanggar janji itu," balas Raka dengan helaan nafas diakhir kalimatnya. Ia melupakan janji yang telah ia dan Ayahnya buat. Tentu saja ia harus menerima hukuman dari Ayahnya. Ia tahu ini semua salahnya karena telah melanggar janjinya dan mau tidak mau ia harus menerima hukuman itu.

"Dimana kamu sekarang? Apa kamu tidak ingat dengan rumah hingga tidak pulang sampai larut malam seperti ini? Dimana jiwa-jiwa kepemimpinan kamu, Raka? Ayah sudah selalu mengajarkan banyak hal tentang kepemimpinan. Apa itu belum cukup untuk menjadi pedoman hidup kamu?"

Raka menundukkan kepalanya menatap sepatu sneaker berwarna putih miliknya yang terpasang manis di kakinya. Ayahnya itu selalu saja meuntut dirinya. Sekali saja ia ingin lepas dari tuntutan itu.

"Maaf, Ayah. Saya salah," Ujarnya.

"Meskipun kamu sudah mengaku salah, tetapi Ayah akan tetap memberikan hukuman kepada kamu malam ini,"

"Siap!" Balas Raka tanpa adanya penolakan. Ini semua murni kesalahannya, sudah seharusnya ia menerima hukuman tersebut. Lagian, ia juga tidak ingin pergi begitu saja dari tanggungjawab.

"Ingat, kamu itu penerus perusahaan Ayah. Sekali saja kamu membangkang atau melawan Ayah. Kamu akan tahu akibatnya. Kamu tidak bisa lalai akan kewajibanmu. Ini semua demi kemakmuran perusahaan Ayah dan juga masa depan kamu, Raka,"

SAMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang