Bersandar

12 3 2
                                    


Kami berjalan menuju Pomegranate, kafe mungil d tengah sawah di Ubud. Rute untuk ke sana melewati jalan yang sempit sehingga kami harus berjalan kaki. Aku sengaja mendahuluinya karena tak ingin terlibat hal konyol lagi dengannya.

Hamparan sawah yang mulai menguning sedikit mengalihkan perhatianku dari isi kepala Sky yang random. Namun, itu tak berlangsung lama. Tangan Sky mengenggam tanganku lagi, membuatku berhenti berjalan, dia pun melakukan hal yang sama, berhenti. Aku menoleh, dan dia sama sekali tidak terusik, malah asik melempar pandangannya ke hamparan sawah.

Aku mencoba melepaskan pertautan itu, dan tidak berhasil, karena dia malah mengeratkan genggamannya. "Please?" Dia menggelengkan kepala dan mulai berjalan, membuatku mau tak mau mengikuti langkahnya. "Jangan begini." Aku berdesis berharap dia melepaskan tanganku.

"Nggak mau," jawabnya membuatku menghela napas.

"Kenapa?"

"Karena aku juga ingin tahu kenapa kamu menolakku." Dia tidak menoleh sama sekali saat mengatakannya.

"Aku berhak untuk tidak mengatakan apa pun."

"Aku tahu, dan aku juga berhak melakukan ini."

"Tapi aku tak nyaman," keluhku.

"Kamu juga harus terbiasa, karena aku juga tak nyaman saat tidak tahu alasanmu." Aku pasrah, aku tidak ingin berbantah.

Aku menatap pertautan tangan kami, dia mengenggamnya erat. Hatiku terasa ngilu. Ada sesuatu yang tak bisa kujelaskan saat ini. Ada sesak yang menyergap. Aku sebisa mungkin tak meneteskan air mata saat ini. Kualihkan pandanganku agar otakku tidak lagi memikirkan hal itu.

Kafe yang kami tuju sudah di depan mata, antrian sedang tidak banyak, sehingga kami bisa langsung mendapatkan tempat duduk. Pemandangan sawah, burung yang berterbangan, sedikit banyak membuatku lupa ada Sky di sampingku sampai dia duduk dan menempel padaku.

"Geser gak kamu? Kalau gak aku pergi," ancamku dengan mimik serius, tapi bukannya menjauh dia malah tertawa dan menyandarkan kepalanya di bahuku.

"Jangan pingsan, jauh dari fasilitas Kesehatan." Aku menghela napas dan menjitak kepalanya yang batu itu. "Aku menikmati hari ini, Te."

"Aku tidak," jawabku ketus. Dan dia tertawa sebagai balasannya. Bagaimana aku harus menjelaskan padanya untuk berhenti saja di sini?

"Kita kaya pasangan, ya, Te."

"Maumu."

"Memang, dan mungkin akan menjadi mau kita nanti pada akhirnya." Aku menggeser kepalanya dan memegang wajahnya. Menegarkan hati untuk menatap matanya.

"Jangan berharap." Tangannya malah ikut memegang tanganku yang sedang berada di wajahnya.

"Kalau begini, bagaimana aku tidak berharap?" Segera kutarik tanganku dan mengalihkan mataku darinya.

"Jangan berharap, berhentilah di sini, dan mari menjadi teman."

"Bukankah kita selama ini teman?"

"Maka cukup sampai di sana batasnya."

"Tidak bisa, aku semakin menginginkamu sekarang." Dia mendekatkan kepalanya ke telingaku dan berbisik di sana.

"Pesan makanan, aku lapar." Aku melambaikan tangan memanggil pelayan, menyebutkan menu yang kupilih dan diam.

Kepalaku penuh dengan hal yang ingin kukatakan pada laki-laki di sampingku itu. Hal-hal yang mungkin akan membuatnya mundur dan menjauhiku. Tapi, aku belum siap untuk mengatakan apa pun, karena aku belum tahu akan seperti apa reaksiku sendiri saat mengatakannya.

I COFFEE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang