Malam itu, para manusia digegerkan oleh puluhan perampok bermotor di sebuah rumah sakit. Mereka membawa senjata tajam, menyusup ke segala arah sampai keperincian ruang-ruang di dalam gedung berpenghuni makhluk-makhluk lemah.
Semua orang tampak cemas, banyak dari mereka yang berlarian hingga terlihat seperti semut acak berbaris di atas tangga.
Malam itu sungguh mencekam, tak ada hal lain yang dapat orang-orang lakukan selain berteriak meminta pertolongan. Beberapa ada yang sempat keluar namun tertembak mati di tempat, beberapa pula ada yang masih terkurung di dalam rumah sakit dan dikepung puluhan perampok. Dikelilingi pistol yang mengarah ke kepala masing-masing.
"Mama, Papa?"
Seorang anak kecil yang semula tertidur sendirian di brankar lantas bangun. Wajahnya kebingungan, matanya sipit karena masih menahan kantuk. Kepalanya tengok kanan-kiri, tidak ditemukan kedua manusia yang paling ia sayang di sana.
Anak itu beringsut duduk saat mendengar kegaduhan di luar ruang rawatnya. Ia melompat dari ranjang, mengintip ada apa di luar. Mata kecilnya terbuka lebar saat menangkap banyak sekali orang-orang berlumuran darah yang tergeletak di lantai. Sialnya salah satu perampok melihat dia, dan segera berlari untuk mendobrak pintu.
Ia yang ketakutan lantas mundur beberapa langkah, naasnya perampok berhasil membuka pintu dan segera mendekatinya. Anak itu membulatkan mata kala melihat sebuah benda tumpul yang dipegang si pria bertopeng itu.
"Sini anak ganteng, jangan jauh-jauh dong." Ucapanya menyeringai di balik topeng.
"Om siapa?" tanya polos si anak.
"Om? Om ini teman Papa kamu, sini ikut Om, kita pergi ke luar."
"Nggak, Om bukan orang baik! Om bunuh banyak orang!"
"Sini anak manis, nanti kita pergi jalan-jalan mau kan?"
"Nggak! Aku nggak mau!"
"Sini, ikut!" Si pria langsung mencekal tangan si anak dan menyeretnya keluar ruangan. Anak itu berteriak memanggil kedua orangtua-nya tapi naas sekali ia berhasil di bawa masuk ke dalam salah satu mobil rumah sakit yang diambil paksa dan dibius hingga terlelap cukup lama.
"Aksa?"
Deg
Aksa membuka matanya lebar-lebar saat merasakan sesuatu menyentuh rambutnya, cowok itu menoleh ke samping kanan, ternyata Dian sudah berdiri seraya mengelus kepalanya. Cowok itu lantas bergeser, mengerjap berulang kali untuk menetralkan perasaan yang mendadak gundah.
"Eh, aku ngagetin kamu ya? Maaf-maaf, aku pikir kamu cuma nutup mata, taunya kamu tidur?"
"Nggak papa." Balas Aksa sekenanya, ia tidak mau terlalu banyak basa-basi dengan orang lain.
"Eh, bahasa kamu berubah?"
Aksa sempat bingung, tapi setelah diperhatikan kata Dian ada benarnya. Ia mengubah bahasa dari formal ke non formal. Cukup membuat aneh tapi terlalu malas untuk menjawabnya.
Cowok itu mengecek arloji, pukul 5 sore tapi Pak Sodirin belum juga menjemputnya. Sudah cukup lama ia menunggu, bahkan hingga tertidur di depan gerbang. Aksa mengalihkan fokus ke beberapa anak-anak sepantarannya sedang menaiki motor dan bercengkrama satu sama lain di sebuah kedai tak jauh dari sekolah.
Mereka terlihat sangat menikmati masa remaja.
Terkadang Aksa merasa ingin seperti itu, ingin bisa bebas. Tapi keadaan lain membuat ia harus tetap terkurung dalam lintasan masa lalu. Aksa jadi sering takut melihat pengendara motor, hal itu membuat ia mengingat terus kejadian beberapa waktu silam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable |End|
Genç KurguIneffable adalah sesuatu yang melampaui kemampuan bahasa untuk mengungkapkannya. Arti lain adalah "tak terlukiskan". Ada banyak kisah yang ditulis di cerita ini, salah satunya Abel. Gadis berkulit sawo matang yang tidak percaya akan cinta. Abel piki...