Gereja & Yesus

30 10 1
                                    

"Kak Vino! Lo ngapain acak-acak perpustakaan mini gue?!"

Vino mendesah pasrah. "Gatau. Gue mau cabut. Rumah rasanya kayak di neraka." Keluh Vino serius, menyebabkan Agra membulatkan pupil hendak menegur namun sayangnya Vino terlebih dulu menjauh ke pintu.

Vino tidak sudi memandang ke arah Adiknya dan Ayahnya. Menutup gagang pintu secara brutal, Vino lalu pergi menggunakan sepeda motornya setelah dia mengenakan helm. Vino marah, sangat. Hobinya kandas, Ayahnya terlalu otoriter sedangkan Aurel, dia hanya seonggok wanita muda yang mudah tantrum dan kurang peka. Minus Ibunya yang jarang ada ketika Vino butuh dibela. Lalu Vino mencoba untuk datang ke Gereja ketika memorinya teringat oleh Gavin.

"Gav, lo kenapa pakai mati, sih?!" Kesal Vino. Gavin adalah sahabatnya sejak Vino memutuskan membangun band. Gavin yang membranding nama band tersebut. Dan ketika berita duka itu sampai kepadanya, Vino tentu saja terpuruk. Dunianya nyaris runtuh karena tidak ada malaikat yang membantu Vino tetap tegar dalam menjalani hidupnya yang sudah jatuh tertimpa tangga pula, artinya sudah ketahuan langsung kena marah juga.

Vino mematikan mesin motor dan pengait helm, meletakkan helm tersebut ke arah belakang jok motor yang tinggi sebab motor Vino merupakan motor sport yang Ayahnya hadiahkan ketika Vino berulang tahun. Sialnya Ayahnya sengaja membebani Vino dengan pajak. Vino tidak memiliki pekerjaan selain menjadi anggota band dan menjadi asisten Amanda, anak Menteri itu. Vino menghela napas, kali ini Gavin terngiang-ngiang di kepalanya, berisik, terlalu berisik sehingga Vino memahami jika Gavin telah tiada. Hanya arwahnya seperti berada dekat dengannya. Vino melangkah masuk ketika dirasa hatinya berani, kemudian sepi. Hari ini hari minggu, seharusnya ramai atau mungkin orang-orang belum datang? Entahlah.

Mata Vino menelisik setiap inci sudut. Setiap bibir ruangan, lalu berhenti di arah depan patung Tuhan Yesus yang sedang merentangkan tangan dengan tanda salib sebagai simbol atas kematiannya. Vino berdiri di kursi terdepan. Dia hanya duduk dan termenung, air mata tidak bisa Vino keluarkan untuk beberapa saat. Dunianya juga seolah terjeda oleh mesin waktu. Vino lalu berdiam diri selama sepuluh menit, tergelak ketika Vino mendengar suara decitan pintu terbuka sedikit. Selebihnya pintu kembali tertutup rapat dan Vino hanya terdiam meski Vino tahu Randy hadir.

"Kita sama-sama rindu almarhum ya." Sindir Randy terus terang.

Vino mengangguk singkat. Lalu diperhatikannya patung Tuhan Yesus dan penampilan Randy yang menggunakan dua sarung tangan hitam di sisi kanan maupun kiri. "Lo mau mimpin doa?" Ajak Vino.

Randy melirik Vino sebentar lalu tertawa. "Gue menghargai Yesus, tapi gue gak di jalan yang sejalur sama Dia."

Vino termenung kebingungan. "Kenapa?" Tanyanya dengan posisi siap berdoa, bermunajat, meminta ilham kepada Bapa Yesus yang sangat Agung.

Randy menggedikan kedua bahu atuh tak acuh, dia tidak ingin berbicara banyak selain mendudukan bokong bersebrangan dengan posisi Vino yang berdoa sembari memejamkan matanya khusyuk. Randy sendiri masa bodoh, dia bukan penganut fanatik tapi sejak motor sport Vino terparkir apik, Randy tahu jika Vino pasti mengingat Gavin. Gavin merupakan pria yang rajin beribadat, rajin berdoa di gereja ini. Dia anak yang tampan dan juga murah senyum. Randy pernah sekali bertengkar dengan Gavin karena masalah hobi, Gavin selalu bertanya sama kepada subjek berbeda, seperti ingin mie ayam atau mie koclok?

Randy tertawa bodoh. Gavin sangat naif, kemudian menginjak kelas tiga Gavin sedikit berubah. Dia jadi suka kepergok mengonsumsi rokok jenis vape. Dan Randy hanya membiarkan Gavin selama bukan narkotika. Gavin lalu berubah total pada saat hari kelulusan, Randy pernah memergoki Gavin sedang berada berdua bersama perempuan di bawahnya saat Randy hendak buang air kecil di toilet.

Berhubung Randy kenal baik dengan Gavin, hal kurang senonoh itu jelas saja membuat Randy syok berat, terutama ketika Gavin masih belum sadar jika Randy juga berada di lokasi serupa saat Randy tahu Gavin bukanlah sepolos itu yang dia sempat duga di awal. Lima belas menit, Randy yang saat itu sedang menaikkan resleting justru hanya bergeming sedangkan Gavin menutup mulutnya setelah putung rokok terjatuh ke atas lantai ubin yang dingin. Dalam kasus ini tidak ada Vino. Vino masih merasa jika Gavin naif, padahal kejadian di toilet, dimana seharusnya Gavin bertepuk tangan ketika namanya terpanggil sebagai siswa teladan justru berangsur menjadi berandalan.

Siapa namanya June? Angela? Entahlah, Randy lupa. Yang penting wanita itu tidak tahu terimakasih ketika Randy menyindir perbuatannya yang jauh dari kata malu dan tahu diri. Dia jalang. Seantero sekolah mengetahuinya, beritanya juga beredar di grup. Sehingga Randy hanya berdecih ketika selera Gavin menjadi sangat murahan daripada yang semua orang harapkan.

"Lo berdoa apa?" Tanya Randy memecah keheningan. Vino terlalu lama berdoa menurut Randy. Jadilah Randy merengut sembari menatap sinis Bapa Yesus yang sedang naik daun.

Vino melirik Randy usai mengatakan amin. Sontak bibir Randy juga mengatakan kalimat sepadan, meski sejujurnya Randy serta Vino saling tahu jika berharap pada yang Ghaib dan Patung justru lebih menyakitkan daripada membuat paru-paru basah akibat rokok elektrik bernama Vape.
Persetan. Mereka juga masih muda. Wajar jika masa muda yang dikaitkan oleh keagamaan justru berakhir aneh.

"Berdoa untuk Gavin dam keluarganya, terus berdoa supaya bokap gue bolehin gue nge band lagi di Luxious."

Randy tertawa terbahak-bahak. "Gaji Luxious kecil. Lo bego atau gimana?"

Vino mendelik. Melihat Randy bangkit dari duduk dan menyampirkan lengan secara sok berkuasa di atas bahu Vino. "Gue ga bego!' Elak Vino terus terang.

Randy sendiri tetap tertawa. "Amanda ga pernah lagi titip salam buat lo. Menurut lo, dengan menjadi diri lo sendiri lo bisa menghidupi Amanda?" Sindir Randy. Jemarinya lantas bergerak ke arah pelipis. "Dia anak Menteri, bro!"

Kali ini Vino mengepalkan tangan disertai raut murka. Namun kembali tertahan ketika Vino sadar dimana tungkai kakinya berpijak. Sangat tidak etis berkelahi di hadapan Tuhan Yesus yang sangat amat Vino hormati. Pengorbanannya membuat Vino kagum. Sehingga Vino begitu mendamba karena pria seperti beliau adalah pria yang terlalu berani sekaligus ekstrem sebab melawan komplotan pengikut terdahulu yang tingkat imannya jauh lebih dulu daripada Tuhan Yesus.

"Lo gausah ikut campur." Tekan Vino berusaha menyudutkan Randy. Sayangnya Vino paham jika Randy bukan lawan yang sepadan.

"Gue berhak!!" Sela Randy tegas. Kali ini tidak ada raut bercanda seperti biasa. Entah sejak Gavin pergi atau sejak Randy kehilangan Ibunya di usia ke lima puluh satu tahun. Dan Randy sangat muak karena mendiang Ibunya juga wanita yang religius, bertolak belakang dengan Ayahnya dan Randy yang pemabuk, pemain. Ibunya terlalu mudah dimanipulasi karena rentan, itu sebabnya Ibunya meninggal dengan cara yang menyedihkan seolah berjumpa dengan Tuhan merupakan cara yang benar.

Menyedihkan bagi Randy tetap di mata Vino bukan menyedihkan yang sesungguhnya. "Berhak atas dasar?" Tanya Vino serius. Netranya memicing tajam.

Randy bergeming. Sedetik kemudian dia menunjukkan tanda tato di bagian dada sebelah kiri dekat bahu kirinya yang sehat. Tak ayal kode tersebut tidak dimengerti oleh Vino yang justru menganggap jika tato itu merupakan tato biasa karena Randy suka seni. Vino yang semula merasa percaya diri mendadak tidak terima sewaktu Randy menepuk puncak kepalanya dengan ekstrem. Sialan.

"Bego! Lo tanya sendiri deh sama Amanda. Amanda yang sama lo di Luxious itu sama enggak dengan Amanda ini?"

Vino terdiam sebentar. Kurang ajar. Apakah firasatnya benar soal tipu muslihat Amanda, dimana meski bukan janda namun wanita seperti Amanda justru akan berakhir sangat berbahaya lebih daripada wanita seperti adiknya?

"Gak mungkin!" Sergah Vino, buru-buru keluar dari gereja, membiarkan Randy terbahak dengan pongah sembari melirik sinis patung Yesus yang tidak akan pernah menatap Randy balik.

"Lebih gak mungkin lagi soal Yesus, ya iyalah, dia cuma patung senyap." Ujar Randy sembari mengibaskan tangannya dan pergi dari sana menyusul Vino usai deruman mesin terdengar gagah.

"Servino, tungguin gue!" Teriak Randy menggelegar ketika pita suaranya tidak terdengar sama sekali oleh rungu Vino karena motor sportnya itu telah secara membabi buta membelah jalan raya yang tidak begitu padat. []

To Be Continued.

VRIJE STIJL [Semi-Baku]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang