Senyum manis terukir diwajahnya, sorak sorai dan gemuruh tepuk tangan memeriahkan setiap langkah kakinya. Ucapan selamat tak henti ia dapatkan entah disampaikan oleh rekan, ataupun orang yang bahkan tak bisa ia ingat namanya. Namun, senyum manis tak berpindah. Lekat pada wajahnya disertai ucapan terima kasih pada orang-orang yang menyalaminya.
Kemenangan tentu selalunya membawakan kesenangan. Setidaknya bagi orang disekitarnya dan bagi mereka yang mengatakan bahwa akan selalu memberikan dukungan. Mendali emas menjadi buah tangan kepulangannya
Cahaya tersenyum kecil, "sebuah pencapaian selalu mampu menjadi bahan untuk dibanggakan". Suasana hatinya terang seperti namanya. Oh, mari kita nikmati suasana esok dengan hati gembira.
Beberapa waktu berselang, mendali emasnya kini bertengger manis terpajang di dinding kamar cahaya. Bertemu dengan kawan lain dari kemenangan dan tanggal yang berbeda.
Berbeda dengan pajangan kemenangannya yang berjajar rapih dan mampu mengambil hati siapapun yang melihatnya, lantai kamar cahaya menunjukan hal yang sebaliknya.
Serakan buku-buku dan lembaran kertas tercecer di setiap sudut kamar. Beberapa buku terbuka, beberapa bertumpuk, beberapa bahkan tersembunyi memilih berdebu di bawah ranjang pemiliknya.
Kamar cahaya tampak seperti kapal pecah, tak menyediakan ruang untuk leluasa bergerak. Tapi, dibandingkan kekacauan itu pikiran cahaya jauh lebih kacau.
Ia duduk menghadap meja lipat yang berpijak diantara tumpukan kertas kertas. Begitupula kertas di atas meja lipat tersebut, berserakan dan menanti untuk diselesaikan.
Wajah cahaya muram, alisnya bertaut memaksa otaknya untuk bekerja. Senyuman yang selalu terulas di wajahnya seakan menghilang entah kemana. Tidak ada cahaya yang ramah, bersisakan cahaya yang serius menyelesaikan kertas kertas bersusunan kata untuk hari esok.
"Ugh, apabila ini tak selesai maka habislah aku." gerutu cahaya. Sudah terbayang dipikirannya bahwa ia akan kekurangan tidur malam ini. Sama seperti malam lainnya saat ia perlu membereskan seluruh tugasnya dalam lembaran kertas itu yang sekarang entah bercecer ke sudut ruangan sebelah mana.
"Ini untuk hari esok." Gumam cahaya. Detik jarum jam berganti hari, terus berputar mendekati angka tiga tanpa henti. Cahaya menguap, merenggangkan tubuhnya yang kaku.
"Selesai." Ada sedikit nada keceriaan di dalamnya. Cahaya melihat jarum jam. "Tiga jam, ada waktu untuk tidur selama tiga jam." Cahaya memindahkan lembaran kertas itu ke dalam tasnya lalu bergegas menaiki ranjang miliknya. Membuat beberapa kertas yang dipijaknya bergerak berpindah tempat.
Keesokan harinya, saat jam kembali berputar mengarah pada angka tiga. Cahaya juga kembali melakukan aktivitasnya. Menyelesaikan lembaran tugas lain untuk hari esok, atau sebetulnya hari ini karena hari sudah berganti. Euforia menyelesaikan tugas kemarin menguap entah kemana, tak ditemukan lagi. Pun begitu dengan lembaran tugas kemarin, melebur menjadi satu dengan tumpukan kertas lain milik cahaya dalam kamarnya. Tak ada ruang sedikitpun pada kamarnya membuat kertas kertas itu mulai bertumpuk. Entah itu kertas kemarin, Minggu lalu atau bahkan kertas tahun lalu, bertumpuk tak menyisakan ruang di kamarnya. Kini yang bersisa hanyalah mode fokus cahaya dengan alis dan kerutan di dahi yang semakin bertambah, berpikir keras.
Cahaya melirik jam di dinding kamarnya. Pukul tiga dan masih belum selesai. Cahaya memejam matanya kesal. Kalau saja ia tak perlu mengulang tugasnya karena membuat kesalahan tadi pasti ia bisa lebih cepat naik ke tempat tidur. Namun pengandaian hanyalah buah dari penyesalan. Cahaya tetap harus menyelesaikan tugasnya meskipun harus kembali menggadaikan waktu tidurnya. Tak apa, hari esok tak akan seperti ini, batinnya.
Keesokan harinya saat bulan bulat sempurna memancarkan cahaya. Cahaya telah terlelap. Tidurnya malam ini lebih panjang. Lembaran tugas untuk hari berikutnya tidak terlalu rumit, selesai hanya dalam waktu beberapa jam. Alangkah enaknya, semoga hari esok tidurnya lebih lama.
Namun tentu tak semua harapan menjadi kenyataan. Pada pukul tiga cahaya kembali berkutat dengan tugasnya. Pancaran sinar yang berasal dari laptopnya mengisi penjuru ruang kamarnya yang gelap. Cahaya menggerutu menggenggam helaian rambutnya. Sekalipun suasana sepi tanda nyenyaknya tidur orang-orang disekitarnya kepala cahaya sangat bising. Rasanya seperti cahaya memiliki dunia lain dalam otaknya.
Meskipun hatinya memaksa untuk berhenti, matanya berat ingin terpejam, dan tubuhnya kaku pegal, otaknya tetap memaksa untuk bekerja. Lembaran ini harus selesai, atau aku tak akan bisa menjalani hari esok, tekan cahaya. Tentu semua mendali dan piala itu tak bisa didapat cahaya dengan mudah, serakan kertas di kamarnya menjadi bukti hal tersebut.
Mengingat runtuyan ucapan selamat serta senyum yang menyambut kemenangannya cahaya kembali melanjutkan pekerjaannya. "Harus selesai, pasti selesai. Tentunya harus dengan sempurna."
Secepat putaran jam pada dinding kamar cahaya secepat itu pula bulan berganti pada kalender yang dimilikinya. Sekalipun demikian, tak banyak yang berubah dari cahaya ia tetap semakin sibuk dikala orang lain tertidur lelap. Perubahan yang terlihat hanyalah tumpukan kertas yang semakin bertambah dan kantung mata cahaya yang semakin menggelap. Tak apa, hari ini hari besarnya. Cahaya akan mengikuti perlombaan dan kembali membawa kemenangan, tentu perjuangannya tiap malam akan membuahkan hasil yang sepadan bukan?
Cahaya tampak lelah, tetapi ada kilatan semangat dalam matanya. Ia akan menyelesaikan semua dengan baik hari ini.
Namun, seperti harapan yang dapat menghilang rencanapun dapat berjalan tak sesuai keinginan. Telinga cahaya berdenging mendengar pengumuman kejuaraan. Tidak, kenapa namaku tidak disebutkan? Bukankah pembawa acara itu seharusnya menyebutkan namaku sebagai juara?
Meskipun otaknya bising dengan pertanyaan dan hatinya tak terima. Cahaya tetap mengulaskan senyum menjaga ekspresi wajahnya. Kesalahan apa yang aku perbuat? Bagaimana mungkin aku gagal meraih kemenangan? Kemana semua jerih payah yang telah aku lakukan?
Amarah mulai menyelimuti hatinya tatkala pemenang pemlombaan menaiki podium dengan tepuk tangan yang lebih meriah. Seharusnya itu menjadi posisiku.
Amarah pada hatinya kembali meluap memandang tatapan bersinar orang-orang yang bertepuk tangan dengan bodohnya menyelamati sang juara.
Seremoni dan penutupan acara kembali berjalan, semua runtuyan acara tersebut lebih menyesakkan dibanding malam manapun yang telah cahaya lalui. Ia ingin pulang.
Cahaya tarik keinginannya, ia tak ingin pulang. Ucapan dan sambutan yang biasa ia dapatkan menghilang. Beberapa rekannya yang biasa dilihatnya menghilang. entah kemana orang-orang yang mengaku sebagai rekannya itu. Ucapan selamat yang biasa diterimanya kini berubah menjadi semangat kosong tanpa isi, tentu tanpa tepuk tangan bodoh yang biasa menyertainya.
Cahaya kembali tetap terjaga pada pukul tiga. Bukan berkutat pada tugasnya melainkan tenggelam dalam pikirannya. Mengulang kembali rekaman kepulangannya, cahaya menyadari bahwa apresiasi yang didapatnya memang selalu berhasil melambungkan hati cahaya. Tanpa cahaya sadari sebagiannya hanyalah omong kosong tanpa ketulusan, sebagian lagi hanya mengapresiasi kemenangannya bukan kerja kerasnya.
"Selama ini, aku sudah terbuai. Mereka tak menghargai usahaku seakan aku tak berusaha lebih keras seperti saat meraih kemenangan."
Ditatapnya mendali dan tumpukan kertas yang berserak di lantai kamarnya. Amarah yang semula menyelimuti hatinya kini terpercik api, tersulut oleh kesadarannya.
Cahaya bergegas, menarik mendali di dinding kamarnya, meraup kertas-kertas yang bisa ia raih. Digenggamnya kuat-kuat pada kedua tangannya. Langkah cahaya lebar dan cepat. Dilemparkan olehnya kertas dan mendali itu di pekarangan sebelum kembali membawa batang kayu kecil yang telah berkorbarkan api. Seperti emosi dalam hatinya yang berubah menjadi kobaran yang lebih besar, begitu pula nasib mendali dan kertas-kertas miliknya.
Cahaya memandang api itu dalam diam. Nama yang diberikan orang tuanya berartikan agar ia dapat menyinari orang-orang disekitarnya, selayaknya cahaya matahari atau bintang-bintang. Tetapi cahaya rasa kini ia malah menjelma menjadi sinar dari kobaran api. Cahaya kembali memasuki rumahnya, memasuki kamarnya yang meski ia sudah berusaha meraup sebanyak mungkin lembaran kertas, lembaran lainnya tetap menumpuk di penjuru sisi kamarnya. Cahaya muak, ia memilih untuk memejamkan matanya berharap semua yang terjadi hari ini hanyalah mimpi belaka.
Tentu semua itu nyata. Kini cahaya kembali membuka laptopnya, mengambil lembaran kertas kosong dan mulai mengisinya. Jam kembali bertemu dengan angka tiga. Cahaya kembali berkutat dengan tugasnya seakan amarah yang menyelimuti hatinya tak pernah ada.
Bagaimana lagi, ia tak bisa menjalani harinya tanpa lembaran kertas yang harus diselesaikan untuk hari esok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembaran Hari Esok
Short StorySenyum manis terukir diwajahnya, sorak sorai dan gemuruh tepuk tangan memeriahkan setiap langkah kakinya. Kemenangan tentu selalunya membawakan kesenangan. Cahaya tersenyum kecil, "Sebuah pencapaian selalu mampu menjadi bahan untuk dibanggakan". S...