Sorry & Thanks (3)

204 23 7
                                    

Waduh, triple up :p

*

Hujan masihlah deras. Tetesan air yang tidak mungkin dihitung satu per satu itu jatuh ke Bumi sebelum menghantam berbagai hal di bawahnya. Tidak sedikit yang menikmati bagaimana hujan turun dengan deras hari ini seraya membawa ketenangan di tengah penatnya aktivitas duniawi. Namun, tidak sedikit yang menggerutu lantaran aktivitas di luar ruangan menjadi tertunda, bahkan terganggu dan terancam batal.

Suasana ketika turun hujan seperti ini, sejujurnya, memberi sedikit ketenangan untuk Haruto yang terus saja tegang sejak beberapa menit lalu. Penyebabnya tak lain dan tak bukan ialah kakaknya sendiri, yang kini duduk di sampingnya, mengemudi. Tidak adanya percakapan yang terjalin sehingga suasana menjadi cukup dingin atau memang pada dasarnya Haruto hampir tidak pernah bisa bersikap santai jika itu menyangkut kakaknya.

Ekspresi Haruto terlihat rumit. Pun tidak fokus menatap keluar jendela dengan pikiran yang berkecamuk. Sejak tadi, Haruto menerka-nerka alasan masuk akal apa yang membuat Yoonbin, si kakak, tiba-tiba mengajaknya pulang bersama. Namun, semakin ia memikirkannya, Haruto semakin dibuat pusing dengan banyak kemungkinan yang terus-menerus memaksa masuk ke dalam kepalanya

Napas panjang dan berat berhasil lolos tanpa sang empu sadari. Netra cokelat milik Haruto sedikit menengadah untuk menatap langit kelabu yang terus menangis, sebelum memaku pada kendaraan-kendaraan di jalan atau sesuatu yang bisa ia lihat.

Ini bisa nggak sih gue lompat aja? Suasananya nggak enak banget, plis. Mau keluar~!

Haruto diam-diam menangis di dalam hati. Ia tidak bisa tenang atau bersikap santai, bergerak pun rasanya segan. Bohong jika ia tidak gugup. Sebab, setelah sekian lama Haruto kembali duduk berdua saja dengan Yoonbin. Padahal bulan-bulan lalu, jangankan duduk, sekadar menyapa "Hai" atau paling tidak tersenyum pada si kakak saja Haruto tidak punya muka.

Pemuda itu menggigit bibir, perlahan mengepalkan tangan dengan jantung berdebar kencang. Susah payah ia mengumpulkan keberanian dan berpikir keras mencari topik obrolan. Haruto takut, tetapi jika ia diam saja, dirinya mungkin akan menyesal. Anggap saja ini sebagai kesempatan yang jarang sekali terjadi.

Ok. Lo bisa, Ruto! Lo bisa!

Sekarang, ada berbagai macam topik obrolan yang berputar di kepalanya. Meski begitu, Haruto tetap terbata saat menoleh pada pemuda di sampingnya. Ia membuka mulut, terdiam, lalu menutup kembali. Hal yang sama terus terjadi selama beberapa kali. Barangkali sadar perilaku aneh Haruto, sebuah lirikan dilayangkan oleh Yoonbin. Hanya sedetik, tetapi efeknya bukan main. Pikiran Haruto langsung kosong, sepi, dan senyap.

"Kenapa?"

Haruto tampak linglung. Ia mengerjap beberapa kali lantas memalingkan muka menatap lurus jalanan kota, sebelum menunduk dengan kedua tangan bertaut.

"G-gue ... gue minta maaf."

Pada akhirnya, apa yang sedari lama ingin ia ucapkan akhirnya keluar dari mulutnya. Haruto kembali menyiapkan diri, berpikir tidak ada salahnya berkata jujur. Mungkin ini akan menjadi pembicaraan pertama dan terakhir mereka setelah sekian lama, tetapi Haruto tidak akan menyesal karena telah mengutarakan pikirannya. Di sisi lain, siapa tahu ini dapat membantu Haruto meringankan tekanan di bahunya.

Tidak ada tanggapan dari Yoonbin membuat Haruto melirik kecil dan melanjutkan, "Gue tau, s-selama ini lo pasti nggak nyaman sama keberadaan gue dan Bunda. G-gue juga m-mungkin paham kenapa lo milih pergi dari rumah dan tinggal di apartemen. Karena itu, gue minta maaf. T-tapi, gue bisa ngerti kalau lo nggak bisa maafin gue. Gue paham."

Mobil perlahan berhenti lantaran lampu lalu lintas berubah merah. Untuk sesaat, kedua pemuda ini bergeming di posisi masing-masing. Tidak ada balasan dari Yoonbin, alih-alih menghela napas pelan. Pemuda itu menoleh, menatap Haruto yang setia menunduk dengan gugup memainkan jari-jemarinya.

ABANG : The Best Person Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang