Part V: Necktie

53 7 0
                                    

"Jadi kita akan ada di bogor selama dua hari satu malam. Untuk persewaan tempat camp Alhamdulillah sudah diurus pak Arif. Catering untuk konsumsi juga sudah beres. Jadi sekarang kita akan langsung membahas rundown acara. Untuk bu Rere yang baru bergabung menggantikan bu Diah bisa menyimak dulu dan kalau ada pertanyaan bisa langsung ditanyakan ke saya."

Aku tersenyum simpul dan mengangguk menanggapi ucapan pak Janu. Aku yang baru bergabung selama dua minggu di sekolah ini seharusnya memang belum bisa bergabung dengan tim youth camping, karena tim ini terbentuk sebelum aku masuk ke sekolah ini. Tapi dengan berbagai pertimbangan dan kurangnya anggota tim akhirnya aku yang dikira bisa cepat menyesuaikan diri didaulat masuk dalam tim. Itu kata pak Janu. Kalau kataku, okelah ini akan menjadi pengalaman baru.

Meeting pagi menjelang siang ini ternyata tidak berlangsung lama. Rundown kegiatan lebih banyak mengikuti saja apa yang telah dibuat pak Janu selaku ketua tim. Tidak banyak yang bertanya pun tidak banyak yang menimpali menyampaikan pendapat. Aku sebagai anggota tim yang baru saja masuk tentu saja memilih menyimak menyetujui, pun aku tidak pernah melakukan kegiatan ini sebelumnya. Sampai akhirnya meeting selesai sebelum jam menunjukkan angka 11.00 WIB.

"Bu Rere tadi diantar siapa?" Pertanyaan itu dilontarkan bu Eca, wanita yang aku tau usianya terpaut empat tahun dibawahku, berdasarkan data yang diberikan Karin. Tadi aku sampai di sekolah hampir bebarengan dengan bu Eca, jadi tidak heran jika dia melihatku dan Alga.

Sejak beberapa menit lalu setelah meeting selesai, aku memang tidak langsung pulang melainkan merapikan kembali tempat yang tadi digunakan. Dibantu Eca dan pak Janu yang saat ini masih entah menuliskan sesuatu di note book kecil yang dibawanya. Sedangkan empat anggota tim lainnya sudah pamit lebih dulu.

"Oh itu temen, bu Eca."

"Serius temen? Kok ngusap kepala juga tadi saya lihat."

"Sudah seperti kakak sih bu, karena memang sudah berteman sejak kecil."

"Terus pulang ini dijemput lagi?"

"Enggak bu, ini saya mau pesen ojol. Bu Eca sendiri bawa kendaraan pribadi?"

"Saya mah mandiri bu, kemana-mana sendiri. Anak pertama harus tahan banting." Aku tertawa kecil sambil menepuk pundak Eca. Ya, katanya anak pertama memang punya beban yang paling berat. Terutama tentang ekspektasi orang tua. Sedangkan aku sebagai anak tunggal yang tentu saja can't relate dengan posisi Eca akan selalu salah dan dianggap sok-sokan kala memberi semangat atau dukungan. Paling sering dibilang, 'lo mah enak, anak tunggal kaya raya.' Loh kok aku malah curhat.

"Bu Rere bareng saya aja dari pada naik ojol, kebetulan saya bawa mobil." Pak Janu atau yang bernama lengkap Janu Pranadipta Atmaja, berucap setelah merapikan kursi yang tadi dipakainya. Dia saat ini sudah berdiri disampingku. Dan ucapannya itu entah aku salah menilai atau tidak, memunculkan reaksi aneh dari Eca.

"Terimakasih pak. Tapi saya naik ojol saja. Ini saya masih mampir-mampir juga."

"Yasudah kalau begitu. Kalian hati-hati ya. Saya duluan."

Aku dan Eca otomatis merespon bingung saat pak Janu langsung saja meninggalkan ruangan dan berjalan cepat menuju parkiran. Apa apaan itu tadi, kok cepat sekali menyerah. Paksa dulu kek, kelihatan banget kalau cuma basa basi.

"Nggak niat ngasih tumpangan tuh, bu." Kan benar, Eca juga memikirkan hal yang sama denganku. Mana nggak ada basa basinya sama sekali. Padahal saat awal kenal menurutku pak Janu ini lumayan banyak omong. Ada masalah hidup apa dia saat ini.

Oh aku lupa, pak Janu ini dia seusia denganku. Dari data yang sudah kupelajari dia satu tahun lebih tua diatasku. Anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya baru saja menyelesaikan kuliah S1 nya di UNPAD. Dan hal yang menarik dari sosok Janu ini adalah fakta bahwa dulunya dia sempat bekerja di perusahaan multinasional dengan gaji yang cukup tinggi.

Okay, We're Married on JulyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang