Badai Yang Membawamu Lebih Dekat

84 15 6
                                    

Nou mungkin hampir melupakan caranya bernapas dalam air, itu bukan pelajaran bertahan hidup namanya kalau ia harus berada dalam badai di tengah laut seperti ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nou mungkin hampir melupakan caranya bernapas dalam air, itu bukan pelajaran bertahan hidup namanya kalau ia harus berada dalam badai di tengah laut seperti ini. "Nou, bernapaslah," suara itu lagi-lagi digulung ombak yang memukul kepalanya untuk lebih dalam tenggelam. Matanya perih, tidak ada yang bisa ia lihat kecuali harapan kecilnya bertahan hidup. Nou menyentakkan tangannya ke laut, seolah-olah itu bisa menyakitinya. Suara itu hilang, dan Nou hampir tidak sadarkan diri sebelum satu gulungan ombak seperti tsunami itu membawanya kepada tempat gelap yang Nou harap bukanlah kematian.


***


"Hei, kau sudah dengar? Kita dilarang melaut."

"Kau takut?" Gil yang kutahu tidak akan mempan dengan ultimatum laut pasang yang sudah diumumkan pak tua Zex, katanya, beberapa pekan ini bukan waktu yang baik untuk melaut, dan aku tahu Zex juga tidak akan mengizinkan perahu siapa pun mendekati pantai hilang.

Entah kenapa namanya pulau Hilang, pantainya juga Hilang, desa ini juga namanya Hilang. Kupikir Zex menamainya dengan asal, Zex hanya mengatakan bahwa pulau yang dahulu adalah bagian dari negara Tora ini sudah tidak ada di peta, oleh karena itu disebut pulau Hilang. Sedikit tidak masuk akal, tapi semua orang di desa ini bisa menerima dengan keyakinan, bahwa apa yang dikatakan Zex akan selalu benar.

Pulau ini tidak besar, kami juga tidak lebih dari seratus orang, setidaknya sejak aku masih bayi—begitu kata Zex. Jadi itulah mengapa aku merasa bahwa Gil sudah seperti kakak kandungku sendiri, kami seperti beli satu gratis satu.

Katanya, kami memang minoritas,  kami ini warga asli Tora yang mengasingkan diri. Tidak ada alasan khusus, rakyat Tora barangkali nomaden, ucap Zex, aku juga tidak terlalu peduli.

Bicara soal Tora, aku bahkah hanya tahu letaknya dari peta lusuh yang pinggirannya sudah sobek, tidak ada globe seperti penjelasan Zex, meski Zex persis mengajari para anak-anak pelajaran umum, tapi kami lebih handal berternak daripada ilmu fisika, percayalah. Aku belum pernah ke sana jadi jangan bertanya padaku mengenai negara yang bahkan hanya bisa kudengar saja ceritanya.

Lagi pula, aku tidak kekurangan apa pun di sini. Zex sudah seperti ayahku sendiri, dan aku memiliki Gil.

Jika ditanya, Zex selalu punya alasan bagus kenapa semua orang berakhir di pulau ini dan tidak kemana-mana lagi, "kekeringan dan masa panceklik yang terlalu lama dapat membunuh siapa pun, Nou," terangnya.

Pria botak itu bijak dalam segala hal, orang-orang mengatakan bahwa Zex memang bisa melihat masa depan, juga bisa kembali ke masa lalu, tapi ketika aku bertanya, Zex akan selalu mengatakan bahwa aku jadi anak perempuan penggosip sekarang, dan dia tidak suka orang yang seperti itu. Jadi aku diam saja.

"Aku tidak takut," kataku.

"Anak perempuan di rumah saja, lagi pula Zex sudah memintaku untuk menjagamu, jadi jangan buat aku repot ya."

Aku mendengus, percuma saja melarang Gil, dia keras seperti batu, tapi aku tidak akan menyerah. "Paman Sam memintaku untuk membantunya di ladang, kau bisa memandikan babinya, alih-alih mencari ikan," kataku membujuk.

"Nou, aku sudah bosan makan bubur sorgum, ini sudah berhari-hari. Aku ingin makan ikan." Gil tetap memusatkan perhatiannya pada jala, khawatir berlubang karena sudah lama tidak digunakan.

"Kalau Zex bertanya, aku harus apa? Bagaimana dengan orang tuamu?"

"Kau tahu harus melakukan apa Nou, kita bukan anak kecil lagi."

Gil mengedipkan satu matanya, dia memang yang terbaik dalam urusan menipu orang, ralat Gil bukan penipu ulung, dia hanya terlalu cerdik dalam hal—berbohong.

Setelah matahari kelewat tenggelam, semua orang masuk ke rumah, menyalakan lampu-lampu tempel di dinding kayu, kudengar Zex berdeham berkali-kali, janggutnya naik turun. Ini waktu makan malam untuk semua orang, kami bahkan tidak punya mangkuk porselen berukir seperti yang disimpan Zex di peti di bawah kasur.

Ini piring keramik biasa, kadang kau bisa menemukan butiran pasir pada saat makan sup.

Di luar hujan, aku mengkhawatirkan Gil lebih dari kondisi kandang babi paman Sam yang habis diterpa badai kemarin malam.

"Dimana Gil?"

"Tentu saja di rumah," kataku lancar berbohong sambil menyuapkan bubur sorgum yang hambar tapi enak ini.

"Kau tahu itu berbahaya, kan, Nou?"

Lihat, kan? Aku bisa membohongi orang tuanya mungkin, tapi tidak dengan pak tua Zex.

"Zex, dengar. Dia akan baik-baik saja," —aku harap juga begitu.

Lalu tatapan Zex berubah dalam bersamaan dengan bunyi petir yang kilatnya menimbulkan bekas kebiruan pada kaca jendela, dalam diamnya aku tahu dia marah besar. "Sudah kukatakan badai ini bukan seperti yang biasanya!"

"Kau menyalahkanku?"

Aku balas menatapnya. Aku sudah membujuknya untuk tidak pergi, aku juga sudah melarangnya, lalu Zex masih marah padaku? Bukankah itu tidak adil. Kenapa sulit sekali bicara dengan para orang tua.

Lelaki itu mendengus, aku tahu Zex hanya ingin melindungi semua orang. Tetapi bukan berati Zex mampu menahan keinginan orang lain.

Tora : The Thief & The Lost PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang