31. Missing Cracks: Small Box

4.4K 308 10
                                    

"Bunda..." panggil sebuah suara.

Yang dipanggil hanya terdiam duduk di sofa sambil terus memandangi sebingkai foto yang ada di tangannya. Sosok yang memanggilnya sedari tadi mendekat dan bersimpuh di depan sang Bunda.

Ann memeluk bingkai foto tersebut lalu menutupi pandangan sang Bunda terhadap foto itu dengan lengan jaket cokelatnya.

Perhatian sang Bunda langsung teralihkan pada sosok Ann yang cemberut karena diabaikan. "Bunda... Bunda kenapa nangis...?"

Bunda terdiam memandang Ann, sikap polos ini membuatnya teringat dengan Alva di masa kecil. Bahkan samar-samar sang Bunda juga melihat wajah Alva kecil. Ia baru menyadari jika pemuda ini terlihat begitu mirip dengan putranya.

Sang Bunda mengusap air matanya dan beralih menarik tangan Ann untuk duduk di sampingnya. Ia mengusap surai dan wajah pemuda itu.

"Nggak papa, Sayang."

Ann diam memandang wajah sang Bunda. Tak lama ia bergerak meletakkan kepalanya dipangkuan sang Bunda dan memeluk tangannya. Tentu saja hal ini membuat Bunda semakin teringat dengan anaknya.

Posisi tidur yang sedikit meringkuk dan memeluk erat tangan seperti ini, dalam ingatannya semua ini benar-benar mirip seperti yang sering Alva lakukan saat kecil. Seketika air matanya mengalir lagi.

Bunda menutup mulutnya menahan luka kesedihan dan kehilangan. Titikan air itu bahkan turun menetes dan membasahi kening Ann.

"Bunda jangan nangis, nanti dedenya ikut nangis loh," lirih Ann pelan. Bunda tersenyum hambar mendengar itu. Ia mengusap surai gelap dipangkuannya dengan air mata yang masih menetes.

"Iya Sayang, Bunda nggak akan nangis lagi kok," balas sang Bunda dengan suara pelan. Bahkan suaranya sudah berubah lemah dan sendu.

Ann bangkit dan kembali duduk memeluk tubuh sang Bunda. Pelukan itu langsung mendapat balasan. Bahkan sang Bunda memeluk erat dan menyembunyikan wajahnya di bahu pemuda itu suara tangisnya sudah tidak bisa ia sembunyikan lagi.

Dari kejauhan, Xici melihat bagaimana Ibunya sangat berduka karena kematian kakaknya. Tentu ia juga ikut sedih dan tak bisa menahan air matanya lagi.

"Xici..." panggil sang Ayah pelan. Xici menoleh dan langsung memeluk sang Ayah, gadis itu diam menangis pelan. Tangan sang Ayah mengusap surai gelapnya pelan lalu beralih mengusap air mata anak bungsunya.

"Ayah minta maaf ya, Xici."

"Nggak, Ayah nggak perlu minta maaf. Xici tahu ini bukan salah Ayah. Xici juga tahu ini bukan salah Kak Reo. Xici cuman belum bisa nerima, tapi nanti Xici pasti kebiasa kok nggak ada Kak Alva, Xici cuma.... Xici cuma belum kebiasa... Xici cuma—"

"Udah... Ayah minta maaf ya, Nak."

Sang Ayah langsung memeluk anak gadisnya. Ia tahu Xici masih belum menerima kepergian kakaknya, terlebih Xici sangat dekat dengan Alva semenjak Ann selalu tinggal di vila keluarga.

Suasana yang biasanya ramai karena canda dan tawa kini senyap dan sendu, bahkan cahaya matahari yang masuk ke dalam vila itu tak lagi membuat suasana cerah.

Hawa hangat yang selalu ada di dalam vila itu kini menghilang sebab matahari yang ada di dalamnya sedang redup dan berduka.

Bunda masih diam memeluk tubuh Ann, sampai suara tangisnya mereda. Ia melepaskan dekapannya dan beralih menatap Ann. Pemuda itu juga terdiam menatap sang Bunda, tak lama ia menoleh pada pintu vila.

Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Di jam-jam itulah Ann biasanya duduk disofa ini menunggu kepulangan Alva dari kantor. Pemuda itu diam dan terus menatap gagang pintu itu. Bunda sadar apa yang sedang pemuda itu lihat, tentu ia tahu kebiasaan Ann selama 4 bulan terakhir.

I'm not Enigma [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang