05 : malam yang panjang (2)

179 39 3
                                    

CW : violent

Teguh menatap marmer itu dalam. Jantungnya berdegup kencang, berbeda dengan suasana di sekitarnya yang hening. Hanya suara jam yang terdengar semakin memperparah rasa gugupnya. Dalam hati ia berharap agar malam ini berjalan cepat saja, ia ingin melihat matahari pagi dan bergegas sekolah.

"Teguh liat mata papa." Selain suara jam, suara papanya Teguh juga mendominasi ruangan luas itu.

Teguh dengan kaku menatap mata Radit. Ditemukannya mata sang papa yang menusuk. Radit yang telah menyelesaikan dokumen terakhirnya itu mendekati Teguh dengan sebuah benda di tangannya. Hanya dengan melihat itu saja membuat bayangan suara yang memedihkan terputar di ingatan Teguh.

Menelan salivanya untuk membasahi tenggorokannya yang kering, Teguh mulai berbicara untuk mengatasi kegugupannya, "Maaf pa, Teguh salah. Akhir akhir ini Teguh kesulitan belajar pa. teguh pastiin ini yang terakhir kalinya pa. Teguh-"

"Papa belum izinin kamu bicara Teguh." Sayangnya Radit memotong ucapan Teguh dengan cepat. Memutuskan bahwa dirinya yang kini berhak berbicara.

"Kamu tau alasan kamu dipanggil kan?" Lagi, suara bariton yang cenderung cuek itu terdengar memuakkan.

"Nilai Teguh tidak memuaskan pa," Teguh yang sebelumnya kembali tertunduk mencoba manik mata papanya.

"Bukan hanya sekedar tidak memuaskan. Kamu bodoh sekali Teguh. Kenapa nilaimu bisa turun sejauh ini?"

Tak masalah jika papanya kecewa, karena Teguh akui dirinya kesulitan fokus akhir akhir ini. Untuk Radit yang telah membesarkan dan menyediakan kebutuhan finansialnya tanpa kekurangan sepeserpun, sudah seharusnya Teguh membalasnya dengan nilai yang bagus. Tapi bukankah perkataan 'bodoh' itu terlalu menyakitkan untuk dirinya yang mendapatkan nilai 80 pada ulangan hariannya?

"Maaf pa-"

"Diam Teguh. Papa ga ngajarin kamu buat motong ucapan orang tua."

Teguh yang kini sudah mendapatkan sedikit keberaniannya menatap mata tajam Radit. Memang sudah seharusnya ia hanya menerima hukuman mutlak yang diberikan Radit ketika nilainya turun. Karena baik perintah, perbuatan ataupun ucapan Radit adalah mutlak di istana ini.

"Papa tau, apa ini bentuk pemberontakan kamu?"

Teguh termenung. Lidahnya kelu karena tidak mendapatkan jawaban di kepalanya saat ini. Apa lagi yang dimaksud Radit?

"Jawab papa."

Dengan sedikit kebimbangan, Teguh mengulangi pengakuan kesalahannya. Pasalnya eksistensi akan 'benar' ataupun 'salah' juga menjadi rancu jika Teguh berhadapan dengan Radit, "Teguh akui ini kesalahan ku pa. Teguh bakal belajar lagi biar nilai Teguh bagus."

"Berbalik ke sudut ruangan sekarang."

Tepat seperti yang ia duga sebelumnya, Radit tak akan membiarkan dirinya keluar dengan percuma malam ini. Ia hanya menyayangkan jika marmer putih ini nantinya akan ternodai karena dirinya.

Radir melirik punggung Teguh dari belakang. Ia menggenggam erat rotan di tangannya lalu mengayunkan akar tanaman itu dengan ringannya ke punggung Teguh.

Plak-

Suara akar pohon beradu dengan kulit itu terdengar sangat keras, menutupi lirihan dan isakan kecil yang keluar dari mulut anak yang malang itu. Teguh bisa merasakan kulit punggungnya yang melepuh karena gesekan. Mungkin saja punggung kecilnya itu sudah mengeluarkan darah sekarang.

"Pa, sakit pa."

"Jangan mengeluh." Radit terhenti sejenak, membuat Teguh sedikit bernapas lega karena punggungnya sangat sakit sekarang. Ia sudah menahan punggungnya agar tegak sedari tadi, karena jika ia terduduk barang sekali saja, bisa jadi amarah Radit semakin menjadi jadi.

OccasionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang